Selasa, 27 Mei 2008

E-Learning,Antara “E” dan “LEARNING”, JANGAN LUPAKAN Learning…


YUNNIA SANDRA . K
1102406044 ( KURTEKDIK )

Yogyakarta, 30 Oktober 2007

Annisa Chaeruman bercerita…Kali ini, saya berkesempatan terbang ke negeri “Mbah Marijan”, untuk seperti biasa berbagi pemikiran tentang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran. Pasalanya, Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta mengadakan Pelatihan Peningkatan Pemenfaatan TIK untuk Guru di kota pelajar tersebut.

Video show, e-Life style in USA saya tunjukkan kepada peserta yang sebagian besar adalah guru plus Kepala Sekolah. Menggambarkan betapa keberadaan ICT alias TIK telah berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan manusia sehari-hari. ICT memainkan fungsinya sebagai sarana informasi, pendidikan dan hiburan. Sayangnya, dalam konteks negeri kita tercinta ini, ICT lebih banyak kita manfaatkan untuk fungsi hiburan. Lihatlah kenyataan betapa remaja (gak juga seh, termasuk orang tua dan anak2) saat ini lebih senang memanfaatkan internet untuk bermain game atau chatting gak karuan selama berjam-jam.

Ini menunjukkan bahwa ICT bagaikan pisau bermata dua, bisa menguntungkan dan sebaliknya malah bisa sangat merugikan. Menguntungkan, dalam konteks pendidikan, jika pemanfaatannya diarahkan dan atau dikondisikan sebagai sarana hiburan, pendidikan dan informasi secara seimbang alias proporsional. Merugikan, jika tidak diarahkan atau dikondisikan alias didesain sedemikian rupa sehingga terintegrasi secara utuh dalam proses pembelajaran. Apa lagi jika anak atau siswa kita biarkan begitu saja.

Berikut adalah contoh upaya pengkondisian pemanfaatan ICT dalam pembelajaran oleh guru. Dalam mata pelajaran Biologi katakanlah. Guru menugaskan kepada siswa (individu atau kelompok) untuk browsing di internet tentang cara kerja jantung. Kemudian siswa tersebut diminta menuliskan dan memvisualisasikan hasil pencarian informasi tersebut kedalam bentuk slide presentasi (katakanlah dengan MS Powerpoint atau sejenisnya) dan menyajikannya di depan teman sekelasnya. Dengan strategi seperti ini maka secara tidak langsung kita telah membangun keterampilan abad 21 kepada mereka. Apa sajakah itu? Pertama, secara tidak langsung “ICT and media literacy” siswa terasah, yaitu dia mampu mencari informasi, mengolah dan menyajikan informasi dengan cara tertentu yang unik dan otentik, mendistribusikan (sharing) ke teman lain melalui berbagai channel, dan lain-lain. Kedua, secara tidak langsung kemampuan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah (problem solving), kemampuan bekerja secara kolaboratif akan terbangun pula pada diri siswa. Terakhir, secara sadar atau tidak, siswa tersebut mengalami yang namanya proses atau peristiwa belajar secara personal.

Point terakhir itulah yang paling penting. Kenapa? Jujur, para guru itu mangakui, bahwa sebagian besar waktu belajar dalam sehari di sekolah (sekitar 5,5 jam), yang seharusnya lebih banyak diberikan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar, habis dirampas oleh guru hanya untuk menerangkan pelajaran. Dengan kata lain, sebagaian besar guru berperan sebagai “pencekok informasi” (information dispencer). Tidaklah heran, sebagaian besar siswa lemah dalam keterampilan berpikir kritis, problem solving, bekerja secara kolaboratif de el el, karena sebagian besar waktu emasnya di sekolah dihabiskan untuk datang, duduk, dengar dan pulang.

Berdasarkan asumsi tersebut, saya mengajak dan menganjurkan kepada semua guru (khususnya ketika pelatihan tersebut) untuk tetap berpegang teguh pada prinsip pembelajaran, apapun teknologi dan atau media yang digunakan. Kenapa? Karena khawatir ketika bicara e-Learning atau pendayagunaan media elektronik untuk efektifitas, efisiensi dan kemenarikan pembelajaran hanya berfokus pada kata “e” dan melupakan “learning”nya itu sendiri. Banyak sekolah yang berlomba-lomba melengkapi sekolahnya dengan fasilitas ICT, tapi pemanfaatannya tidak sesuai dengan kebutuhan. Atau banyak media elektronik yang bisa dimanfaatkan untuk pembelajaran tapi belum dioptimalkan. Misalnya, sekitar sekolah banyak Warnet, tapi siswa secara individu atau kelompok tidak diarahkan melalui tugas atau apa saja untuk memanfaatkan warnet tersebut. Atau di sekolah ada LCD Projector plus Laptop, tapi lebih banyak digunakan oleh guru untuk menjelaskan pelajaran. Begitu kira-kira. Waktu saya bicara tentang ini, peserta sih ngangguk-ngangguk yang saya terjemahkan sebagai setuju.

Sebagai kesimpulan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa teknologi dapat membuat suatu perbedaan yang signifikan terhadap sesuatu. Justeru yang membuat pengaruh atau perbedaan yang signifikan adalah pemanfaatan yang tepat dari teknologi tersebut untuk kebutuhan tertentu. Mau contoh? Keberadaan LCD Projector plus satu laptop dalam satu kelas tidak akan membawa perubahan yang berarti jika hanya digunakan oleh guru untuk menjelaskan pelajaran. Hasilnya akan sama dengan jika guru tersebut mengajar dengan tanpa bantuan media tersebut. Tapi akan jauh membawa perubahan yang berarti jika siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan teknologi tersebut untuk mengungkapkan ide dan pengetahuannya kepada teman-temannya yang lain. Ketika teknologi tersebut hanya dimanfaatkan oleh guru untuk mengajar, maka siswa hanya akan memperoleh pengetahuan tentang apa yang diajarkan dan sedikit mungkin gambar atau ilustrasi yang lebih menarik dan konkrit, itupun jika slide presentasi yang dibuatnya baik. Tapi, ketika dimanfaatkan siswa untuk mempresentasikan ide dan pengetahuannya kepda kawan-kawannya yang lain, maka siswa lain akan memperoleh pengetahuan, dan siswa yang berkesempatan menggunakan teknologi tersebut secara tidak langsung mengasah atau meningkatkan ICT literacy mereka dan kemampuan berpkir kritis, problem solving dan lainnya.

Disamping itu, sebagai bukti bahwa kata “learning” lebih penting dari pada hanya kata “e” saya menunjukan juga video tentang contoh strategi pembelajaran yang dipake oleh salah seorang guru teladan di London, Inggris yang telah memanfaatkan berbagai metode dan media (bukan teknologi maju). Nyatanya, dengan metode diskusi, simulasi, problem based learning, dan praktek disertai media sederhana mampu melibatkan aktif semua siswa dalam proses pembelajaran.

Tidak ada komentar: