Kamis, 29 Mei 2008
UNIVERSITAS TERBUKA SEBAGAI SALAH SATU WUJUD SISTEM BELAJAR MANDIRIUNIVERSITAS TERBUKA SEBAGAI SALAH SATU WUJUD SISTEM BELAJAR MANDIRI
DEBY ARCELLINA IRMAWATY/ KURTEKDIK/ 1102406041
Rabu, 28 Mei 2008
UNIVERSITAS TERBUKA SEBAGAI SALAH SATU WUJUD SISTEM BELAJAR MANDIRIUNIVERSITAS TERBUKA SEBAGAI SALAH SATU WUJUD SISTEM BELAJAR MANDIRI
DEBY ARCELLINA IRMAWATY/KURTEKDIK/ 1102406041
Selasa, 27 Mei 2008
E-Learning,Antara “E” dan “LEARNING”, JANGAN LUPAKAN Learning…
YUNNIA SANDRA . K
1102406044 ( KURTEKDIK )
Yogyakarta, 30 Oktober 2007
Annisa Chaeruman bercerita…Kali ini, saya berkesempatan terbang ke negeri “Mbah Marijan”, untuk seperti biasa berbagi pemikiran tentang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran. Pasalanya, Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta mengadakan Pelatihan Peningkatan Pemenfaatan TIK untuk Guru di
Video show, e-Life style in
Ini menunjukkan bahwa ICT bagaikan pisau bermata dua, bisa menguntungkan dan sebaliknya malah bisa sangat merugikan. Menguntungkan, dalam konteks pendidikan, jika pemanfaatannya diarahkan dan atau dikondisikan sebagai sarana hiburan, pendidikan dan informasi secara seimbang alias proporsional. Merugikan, jika tidak diarahkan atau dikondisikan alias didesain sedemikian rupa sehingga terintegrasi secara utuh dalam proses pembelajaran. Apa lagi jika anak atau siswa kita biarkan begitu saja.
Berikut adalah contoh upaya pengkondisian pemanfaatan ICT dalam pembelajaran oleh guru. Dalam mata pelajaran Biologi katakanlah. Guru menugaskan kepada siswa (individu atau kelompok) untuk browsing di internet tentang cara kerja jantung. Kemudian siswa tersebut diminta menuliskan dan memvisualisasikan hasil pencarian informasi tersebut kedalam bentuk slide presentasi (katakanlah dengan MS Powerpoint atau sejenisnya) dan menyajikannya di depan teman sekelasnya. Dengan strategi seperti ini maka secara tidak langsung kita telah membangun keterampilan abad 21 kepada mereka. Apa sajakah itu? Pertama, secara tidak langsung “ICT and media literacy” siswa terasah, yaitu dia mampu mencari informasi, mengolah dan menyajikan informasi dengan cara tertentu yang unik dan otentik, mendistribusikan (sharing) ke teman lain melalui berbagai channel, dan lain-lain. Kedua, secara tidak langsung kemampuan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah (problem solving), kemampuan bekerja secara kolaboratif akan terbangun pula pada diri siswa. Terakhir, secara sadar atau tidak, siswa tersebut mengalami yang namanya proses atau peristiwa belajar secara personal.
Point terakhir itulah yang paling penting. Kenapa? Jujur, para guru itu mangakui, bahwa sebagian besar waktu belajar dalam sehari di sekolah (sekitar 5,5 jam), yang seharusnya lebih banyak diberikan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar, habis dirampas oleh guru hanya untuk menerangkan pelajaran. Dengan kata lain, sebagaian besar guru berperan sebagai “pencekok informasi” (information dispencer). Tidaklah heran, sebagaian besar siswa lemah dalam keterampilan berpikir kritis, problem solving, bekerja secara kolaboratif de el el, karena sebagian besar waktu emasnya di sekolah dihabiskan untuk datang, duduk, dengar dan pulang.
Berdasarkan asumsi tersebut, saya mengajak dan menganjurkan kepada semua guru (khususnya ketika pelatihan tersebut) untuk tetap berpegang teguh pada prinsip pembelajaran, apapun teknologi dan atau media yang digunakan. Kenapa? Karena khawatir ketika bicara e-Learning atau pendayagunaan media elektronik untuk efektifitas, efisiensi dan kemenarikan pembelajaran hanya berfokus pada kata “e” dan melupakan “learning”nya itu sendiri. Banyak sekolah yang berlomba-lomba melengkapi sekolahnya dengan fasilitas ICT, tapi pemanfaatannya tidak sesuai dengan kebutuhan. Atau banyak media elektronik yang bisa dimanfaatkan untuk pembelajaran tapi belum dioptimalkan. Misalnya, sekitar sekolah banyak Warnet, tapi siswa secara individu atau kelompok tidak diarahkan melalui tugas atau apa saja untuk memanfaatkan warnet tersebut. Atau di sekolah ada LCD Projector plus Laptop, tapi lebih banyak digunakan oleh guru untuk menjelaskan pelajaran. Begitu kira-kira. Waktu saya bicara tentang ini, peserta sih ngangguk-ngangguk yang saya terjemahkan sebagai setuju.
Sebagai kesimpulan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa teknologi dapat membuat suatu perbedaan yang signifikan terhadap sesuatu. Justeru yang membuat pengaruh atau perbedaan yang signifikan adalah pemanfaatan yang tepat dari teknologi tersebut untuk kebutuhan tertentu. Mau contoh? Keberadaan LCD Projector plus satu laptop dalam satu kelas tidak akan membawa perubahan yang berarti jika hanya digunakan oleh guru untuk menjelaskan pelajaran. Hasilnya akan sama dengan jika guru tersebut mengajar dengan tanpa bantuan media tersebut. Tapi akan jauh membawa perubahan yang berarti jika siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan teknologi tersebut untuk mengungkapkan ide dan pengetahuannya kepada teman-temannya yang lain. Ketika teknologi tersebut hanya dimanfaatkan oleh guru untuk mengajar, maka siswa hanya akan memperoleh pengetahuan tentang apa yang diajarkan dan sedikit mungkin gambar atau ilustrasi yang lebih menarik dan konkrit, itupun jika slide presentasi yang dibuatnya baik. Tapi, ketika dimanfaatkan siswa untuk mempresentasikan ide dan pengetahuannya kepda kawan-kawannya yang lain, maka siswa lain akan memperoleh pengetahuan, dan siswa yang berkesempatan menggunakan teknologi tersebut secara tidak langsung mengasah atau meningkatkan ICT literacy mereka dan kemampuan berpkir kritis, problem solving dan lainnya.
Disamping itu, sebagai bukti bahwa kata “learning” lebih penting dari pada hanya kata “e” saya menunjukan juga video tentang contoh strategi pembelajaran yang dipake oleh salah seorang guru teladan di London, Inggris yang telah memanfaatkan berbagai metode dan media (bukan teknologi maju). Nyatanya, dengan metode diskusi, simulasi, problem based learning, dan praktek disertai media sederhana mampu melibatkan aktif semua siswa dalam proses pembelajaran.
KARAKTERISTIK INDEPENDENT LEARNING
Menurut Candy (1975), belajar mandiri dapat dipandang baik sebagai proses dan juga tujuan. Dengan kata lain, belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode belajar dan juga karakteristik pebelajar itu sendiri. Belajar mandiri sebagai tujuan mengandung makna bahwa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu pebelajar diharapkan menjadi seorang pebelajar mandiri. Sedangkan belajar mandiri sebagai proses mengandung makna bahwa pebelajar mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu tanpa terlalu tergantung pada guru/tutor (mandiri).
Berkaitan dengan hal ini, Candy juga membedakan antara belajar mandiri sebagai modus dalam mengorganisasikan pembelajaran dalam seting formal (learner-control) dengan belajar mandiri sebagai individualisasi (autodidaxy). Konsep pertama, menjelaskan konsep belajar mandiri sebagai sistem belajar dalam seting formal. Sedangkan konsep kedua, menjelaskan belajar mandiri sebagai belajar sendiri secara bebas (otodidak). Jadi, belajar mandiri tidak sama dengan belajar otodidak (belajar sendiri). Belajar mandiri sebagai proses memfokuskan diri pada karakteristik transaksi belajar-mengajar yang melibatkan “needs assessment”, sistem evaluasi, sumber-sumber belajar, peran dan keterampilan fasilitator/tutor. Dodds (1983), menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah sistem yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri dari bahan cetak, siaran ataupun bahan pra-rekam yang telah terlebih dahulu disiapkan; istilah mandiri menegaskan bahwa kendali belajar serta keluwesan waktu maupun tempat belajar terletak pada siswa yang belajar.
Dengan demikian, belajar mandiri sebagai metode dapat didefinsisikan sebagai suatu pembelajaran yang memfosisikan pebelajar sebagai penanggung jawab, pemegang kendali, pengambil keputusan atau pengambil inisiatif dalam memenuhi dan mencapai keberhasilan belajarnya sendiri dengan atau tanpa bantuan orang lain. Guru/tutor berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan pebelajar dapat secara mandiri: 1) mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; 2) merumuskan/menentukan tujuan belajarnya sendiri; 3) mengidentifikasi dan memilih sumber-sumber belajarnya sendiri (baik sumber belajar manusia atau non-manusia); 4) menentukan dan melaksanakan strategi belajarnya; dan 4) mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.
Pembelajaran dengan sistem belajar mandiri mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pendidikan dengan sistem lain. Knowles (1975) menyatakan bahwa sistem belajar mandiri bukan cara belajar yang tertutup, dimana pebelajar belajar secara sendiri tanpa bantuan orang lain. Tetapi, belajar mandiri terjadi dengan bantuan orang lain seperti guru, tutor, mentor, narasumber, dan teman sebaya. Knowles membedakan sistem belajar mandiri dengan sistem belajar tradisional dengan istilah pedagogi dan andragogi. Konsep pedagogi memandang pebelajar sebagai obyek, dalam hal ini pebelajar diajarkan (being taught) tentang sesuatu. Sedangkan konsep andragogi memandang pebelajar sebagai subyek, peran guru adalah membantu belajar.
Kozma et.al.(1978), senada dengan Knowles, membedakan sistem belajar mandiri dengan belajar individual, seperti pembelajaran berbantuan komputer, proyek yang ditugaskan oleh guru dan lain-lain. Sistem belajar mandiri memberikan peluang kepada pebelajar untuk menyesuaikan diri dengan tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan pada belajar individual, kesempatan untuk hal ini tidak ada. Semuanya telah ditentukan oleh guru atau pembuat program secara “top-down”, baik dari segi tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajarnya.
Karakteristik utama pendidikan dengan sistem belajar mandiri adalah tanggung jawab dalam mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri berada ditangan pebelajar. Karakteristik umum lainya, menurut Institut for Distance Education of Maryland University, pendidikan dengan sistem belajar mandiri memiliki karakteristik: 1) membebaskan pebelajar untuk tidak harus berada pada satu tempat dalam satu waktu tertentu; 2) disediakannya berbagai bahan (materials) termasuk panduan belajar dan silabus yang rinci serta akses ke semua anggota fakultas (penyelenggara pendidikan) yang memberikan layanan bimbingan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pebelajar, dan mengevaluasi karya-karya para pebelajar; 3) komunikasi antara pebelajar dengan instruktur atau tutor dicapai melalui satu atau kombinasi dari beberapa teknologi komunikasi seperti telepon, voice-mail, konferensi melalui komputer, surat elektronik, dan surat-menyurat secara reguler.
Namun demikian, ketiadaan atau keterpisahan jarak (kelas), antara pebelajar dengan fakultas (tutor) dan pebelajar lainnya, bukan merupakan karakteristik utama dari pendidikan dengan sistem belajar mandiri. Pernyataan ini menjelaskan bahwa sistem belajar mandiri tidak hanya terjadi dalam pendidikan jarak jauh dimana antara pebelajar dan guru terpisah oleh jarak dan waktu. Dalam pendidikan konvensional sekalipun, apabila pebelajar diposisikan sebagai subyek dimana mereka diberi tanggung jawab untuk mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut menggunakan sistem belajar mandiri.
Wedemeyer (1968), seperti dikutip oleh Keegan menyebutkan sepuluh karakteristik sistem belajar mandiri. Kesepuluh karakteristik tersebut meliputi: 1) sistem harus dapat dilakukan disemua tempat dimana terdapat pebelajar, walaupun hanya satu orang pebelajar, baik dengan atau tanpa kehadiran guru pada saat dan tempat yang sama; 2) sistem harus memberikan tanggung jawab untuk belajar yang lebih besar kepada pebelajar; 3) sistem harus membebaskan anggota fakultas dari tipe tugas lain yang tidak relevan, sehingga lebih banyak waktu digunakan sepenuhnya untuk tugas-tugas pendidikan; 4) sistem harus menawarkan kepada pebelajar pilihan yang lebih luas (lebih banyak peluang) baik dari segi mata kuliah, bentuk, maupun metodologi; 5) sistem harus memanfaatkan, segala bentuk media dan metode pembelajaran yang telah terbukti efektif; 6) sistem harus mencampur dan mengkombinasikan media dan metode sehingga setiap topik atau unit dalam suatu mata kuliah diajarkan dengan cara yang terbaik; 7) sistem harus mempertimbangkan desain dan pengembangan mata ajar yang sesuai dengan program media yang sudah ditetapkan; sistem harus memelihara dan meningkatkan peluang untuk dapat beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan individu; 9) sistem harus mengevaluasi keberhasilan belajar secara sederhana, dengan tidak harus menjadikan hambatan berkaitan dengan tempat dimana pebelajar belajar, kecepatan belajar mereka, metode yang mereka gunakan atau urutan belajar yang mereka lakukan; dan 10) sistem harus memungkinkan pebelajar untuk memulai, berhenti dan belajar sesuai dengan kecepatanya.
Namun demikian, dalam prakteknya, sistem belajar mandiri tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit, tapi lebih bersifat kontinum. Derajat kemandirian belajar yang diberikan oleh suatu lembaga (program) pendidikan kepada pebelajarnya berbeda-beda. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990) menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga aspek: 1) kemandirian didalam menentukan tujuan: apakah pemilihan tujuan belajar ditentukan oleh guru atau oleh pebelajar?; 2) kemandirian dalam metode belajar: apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar (narasumber), dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau pebelajar?; dan 3) kemandirian dalam evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi dan criteria yang digunakan dibuat oleh guru atau pebelajar? Semakin besar peran kendali atau pengambilan keputusan atau inisiatif diberikan kepada pebelajar maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri dari suatu lembaga pendidikan tersebut. Moore juga menggambarkan beberapa tipe program pendidikan ditinjau dari segi kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajarnya seperti berikut:
Derajat Kemandirian Belajar ditinjau dari Aspek Tujuan, Cara/Metode dan Evaluasi
Examples Objective Setting Implemen tation Evaluation
1. Private Study A A A
2. University of London External Degree A A N
3. Learning Sport Skills A N A
4. Learning Car Driving A N N
5. Learner Control Course and Evaluation N A A
6. Learner Control Evaluation N N A
7. Many Independent Study Course N A N
8. Independent Study for Credit N N N
Diadaptasi dari Moore (1977)
Keterangan: A = ditentukan oleh pebelajar (autonomy)
N = bukan ditentukan oleh pebelajar (non-autonomy)
Tabel di atas menjelaskan kontinum sistem belajar mandiri. Jadi, ditinjau dari segi penentuan tujuan, strategi pelaksanaan dan evaluasi, terdapat program pendidikan yang benar-benar menerapkan sistem belajar mandiri, ada yang benar-benar menerapkan sistem belajar bukan mandiri (tergantung) dan ada pula diantara kedua ekstrim ini.
Jumat, 23 Mei 2008
BELAJAR MANDIRI,,,,????
1102406044 ( KURTEKDIK )
Konferensi ke-6 Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia Se-Timur Tengah dan Sekitarnya (BKPPI) dibuka secara resmi oleh Prof. Amien Rais pada hari Minggu, 16 Juli 2007. Konferensi kali ini mengusung tema yang cukup gagah dan mentereng, “Membangun Kemandirian Bangsa Menuju Indonesia yang Berkeadilan”. Beberapa tokoh nasional dan praktisi pendidikan ikut meramaikan konferensi kali. Sebut saja nama Dr. Bambang Pranowo, staff menhan Juwono Sudarsono, Dr. Masyitoh Chusnan dari DEPDIKNAS, dan beberapa rektor dari pelbagai universitas penting di tanah air yang diundang oleh pusat studi internasional Qom, Iran. Tentu saja lebih dari 7 utusan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) setimur tengah dan Eropa pun ikut menyukseskan hajatan ilmiah besar ini.
Itu aspek berita dari konferensi tersebut. Lalu, dari esensi dan urgensi masalah/tema yang\diangkat ke permukaan, apa yang menarik? Tema itu memang terasa sedap di telinga. Suatu tema yang menjadi impian dan harapan mayoritas kalau tidak dikatakan seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Setiap jiwa yang merdeka/mandiri pasti akan merespon positif langkah besar yang dilakukan para mahasiswa itu. Bahkan sejatinya membangun bangsa yang mandiri dan berkeadilan adalah harapan dan cita-cita luhur para pejuang nasional yang dengan raga dan jiwanya berkorban demi kemerdekaan Indonesia. Kemandirian bangsa Indonesia adalah obsesi suci para pahlawan seperti Bung Tomo dan Panglima Sudirman. Ketika bangsa Indonesia begitu mudahnya membebek, mengekor dan menjilat para penjajah modern yang menggunakan kapitalisme yang jahat dan perusahaan-perusahaan besar yang menjadi kaki tangannya, maka ini berarti pengkhianatan besar terhadap perjuangan dan patriotisme para pahlawan nasional. Teriakan Allahu Akbar Bung Tomo akan sia-sia. Sebab, Allahu Akbar bermakna hanya Allah Yang Maha Besar dan selain-Nya kecil dan bahkan sangat kecil. Hanya Dia Yang Maha Kuasa dan selain-Nya sangat kecil dan terbatas kekuasaannya. Hanya Dia Tempat Bergantung dan selain-Nya tidak layak dijadikan gantungan. Sebaliknya, ketika bangsa Indonesia berdiri di atas kakinya sendiri, tidak gampang mengemis belas kasihan terhadap lembaga-lembaga kapitalis seperti IMF, dan dengan percaya diri bertumpu pada potensinya sendiri maka ini berarti penghormatan terhadap jasa para pahlawan negeri. Jika demikian halnya maka bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. Ada dua terminologi penting dari tema di atas: pertama, mandiri dan kedua, adil. Mandiri terkadang diplesetkan mandi sendiri. Plesetan ini menurut saya bisa menjadi benar kalau kita maknai bahwa ada pekerjaan-pekerjaan pribadi yang dapat kita lakukan sendiri dan sangat ironis dan memalukan kalau urusan seperti mandi harus kita serahkan ke orang lain. Mandiri dalam makna yang sebenarnya adalah bertumpu pada kekuatan sendiri dan tidak kehilangan kewibawaan dan kemuliaan saat harus bekerjasama dengan orang/pihak lain. Orang yang mandiri bisa juga disebut bahkan mungkin sebutan ini lebih pas orang yang merdeka. Orang yang merdeka berarti orang yang tidak bergantung pada orang lain. Dengan kata lain, orang yang merdeka orang yang tidak ketakutan ditinggalkan orang lain. Bahkan orang yang merdeka merasakan kedamaian hati saat ditinggalkan masa, saat berada diketerasingan selama ia menyadari bahwa ia memperjuangkan nilai-nilai kemerdekaan. Bukankah Islam mengajarkan kepada kita bahwa adakalanya kesendiriaan dan hidup menyendiri itu justru lebih baik daripada bergaul dengan masyarakat yang tidak merdeka (masyarakat yang bobrok akhlaknya). Abu Dzar al Ghifari, adalah contoh hamba Allah yang merdeka dan mandiri. Adalah benar bahwa ia terisolasi dari masyarakat dan mati secara terasing pula, namun di balik keterasingannya ia meneguk manisnya buah kemerdekaaan dan kemandirian. Nabi Yusuf as, adalah contoh lain dari insan kamil yang merdeka. Beliau merasakan indahnya kemerdekaan Ilahiah justru saat beliau mendekam di terali besi alias penjara. Bahkan yang menarik di saat beliau duduk di singgasana kekuasaan yang terhormat, beliau khawatir kalo-kalo kemerdekaan jiwanya terampas oleh cinta kekuasaan yang hina-dina karena itu beliau menyampaikan doa orang yang merdeka: “Ya Allah kalo kekuasaan ini menggiring aku kepada cinta dunia maka matikanlah aku sebagai orang Muslim dan gabungkanlah aku bersama hamba-hamba-Mu yang saleh.” Sebaliknya, saudara-saudara Nabi Yusuf as meski menghirup udara segar dan bebas di luar penjara namun sejatinya mereka adalah budak-budak hawa nafsu hina mereka. Sedangkan terminologi kedua adalah adil. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Atau, memberikan hak kepada pemiliknya. Inilah makna adil yang cukup adil dan bijak. Sedangkan makna adil yang didefiniskan pemerataan dalam pemberian, misalnnya hukum waris laki perempuan harus sama maka ini makna adil yang tidak adil alias keblinger.
Kamis, 22 Mei 2008
BAGAIMAKAH KARAKTERISTIK INDEPENDENT LEARNING itu .........?
Menurut Candy (1975), belajar mandiri dapat dipandang baik sebagai proses dan juga tujuan. Dengan kata lain, belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode belajar dan juga karakteristik pebelajar itu sendiri. Belajar mandiri sebagai tujuan mengandung makna bahwa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu pebelajar diharapkan menjadi seorang pebelajar mandiri. Sedangkan belajar mandiri sebagai proses mengandung makna bahwa pebelajar mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu tanpa terlalu tergantung pada guru/tutor (mandiri).
Berkaitan dengan hal ini, Candy juga membedakan antara belajar mandiri sebagai modus dalam mengorganisasikan pembelajaran dalam seting formal (learner-control) dengan belajar mandiri sebagai individualisasi (autodidaxy). Konsep pertama, menjelaskan konsep belajar mandiri sebagai sistem belajar dalam seting formal. Sedangkan konsep kedua, menjelaskan belajar mandiri sebagai belajar sendiri secara bebas (otodidak). Jadi, belajar mandiri tidak sama dengan belajar otodidak (belajar sendiri). Belajar mandiri sebagai proses memfokuskan diri pada karakteristik transaksi belajar-mengajar yang melibatkan “needs assessment”, sistem evaluasi, sumber-sumber belajar, peran dan keterampilan fasilitator/tutor. Dodds (1983), menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah sistem yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri dari bahan cetak, siaran ataupun bahan pra-rekam yang telah terlebih dahulu disiapkan; istilah mandiri menegaskan bahwa kendali belajar serta keluwesan waktu maupun tempat belajar terletak pada siswa yang belajar.
Dengan demikian, belajar mandiri sebagai metode dapat didefinsisikan sebagai suatu pembelajaran yang memfosisikan pebelajar sebagai penanggung jawab, pemegang kendali, pengambil keputusan atau pengambil inisiatif dalam memenuhi dan mencapai keberhasilan belajarnya sendiri dengan atau tanpa bantuan orang lain. Guru/tutor berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan pebelajar dapat secara mandiri: 1) mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; 2) merumuskan/menentukan tujuan belajarnya sendiri; 3) mengidentifikasi dan memilih sumber-sumber belajarnya sendiri (baik sumber belajar manusia atau non-manusia); 4) menentukan dan melaksanakan strategi belajarnya; dan 4) mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.
Pembelajaran dengan sistem belajar mandiri mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pendidikan dengan sistem lain. Knowles (1975) menyatakan bahwa sistem belajar mandiri bukan cara belajar yang tertutup, dimana pebelajar belajar secara sendiri tanpa bantuan orang lain. Tetapi, belajar mandiri terjadi dengan bantuan orang lain seperti guru, tutor, mentor, narasumber, dan teman sebaya. Knowles membedakan sistem belajar mandiri dengan sistem belajar tradisional dengan istilah pedagogi dan andragogi. Konsep pedagogi memandang pebelajar sebagai obyek, dalam hal ini pebelajar diajarkan (being taught) tentang sesuatu. Sedangkan konsep andragogi memandang pebelajar sebagai subyek, peran guru adalah membantu belajar.
Kozma et.al.(1978), senada dengan Knowles, membedakan sistem belajar mandiri dengan belajar individual, seperti pembelajaran berbantuan komputer, proyek yang ditugaskan oleh guru dan lain-lain. Sistem belajar mandiri memberikan peluang kepada pebelajar untuk menyesuaikan diri dengan tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan pada belajar individual, kesempatan untuk hal ini tidak ada. Semuanya telah ditentukan oleh guru atau pembuat program secara “top-down”, baik dari segi tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajarnya.
Karakteristik utama pendidikan dengan sistem belajar mandiri adalah tanggung jawab dalam mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri berada ditangan pebelajar. Karakteristik umum lainya, menurut Institut for Distance Education of Maryland University, pendidikan dengan sistem belajar mandiri memiliki karakteristik: 1) membebaskan pebelajar untuk tidak harus berada pada satu tempat dalam satu waktu tertentu; 2) disediakannya berbagai bahan (materials) termasuk panduan belajar dan silabus yang rinci serta akses ke semua anggota fakultas (penyelenggara pendidikan) yang memberikan layanan bimbingan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pebelajar, dan mengevaluasi karya-karya para pebelajar; 3) komunikasi antara pebelajar dengan instruktur atau tutor dicapai melalui satu atau kombinasi dari beberapa teknologi komunikasi seperti telepon, voice-mail, konferensi melalui komputer, surat elektronik, dan surat-menyurat secara reguler.
Namun demikian, ketiadaan atau keterpisahan jarak (kelas), antara pebelajar dengan fakultas (tutor) dan pebelajar lainnya, bukan merupakan karakteristik utama dari pendidikan dengan sistem belajar mandiri. Pernyataan ini menjelaskan bahwa sistem belajar mandiri tidak hanya terjadi dalam pendidikan jarak jauh dimana antara pebelajar dan guru terpisah oleh jarak dan waktu. Dalam pendidikan konvensional sekalipun, apabila pebelajar diposisikan sebagai subyek dimana mereka diberi tanggung jawab untuk mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut menggunakan sistem belajar mandiri.
Wedemeyer (1968), seperti dikutip oleh Keegan menyebutkan sepuluh karakteristik sistem belajar mandiri. Kesepuluh karakteristik tersebut meliputi: 1) sistem harus dapat dilakukan disemua tempat dimana terdapat pebelajar, walaupun hanya satu orang pebelajar, baik dengan atau tanpa kehadiran guru pada saat dan tempat yang sama; 2) sistem harus memberikan tanggung jawab untuk belajar yang lebih besar kepada pebelajar; 3) sistem harus membebaskan anggota fakultas dari tipe tugas lain yang tidak relevan, sehingga lebih banyak waktu digunakan sepenuhnya untuk tugas-tugas pendidikan; 4) sistem harus menawarkan kepada pebelajar pilihan yang lebih luas (lebih banyak peluang) baik dari segi mata kuliah, bentuk, maupun metodologi; 5) sistem harus memanfaatkan, segala bentuk media dan metode pembelajaran yang telah terbukti efektif; 6) sistem harus mencampur dan mengkombinasikan media dan metode sehingga setiap topik atau unit dalam suatu mata kuliah diajarkan dengan cara yang terbaik; 7) sistem harus mempertimbangkan desain dan pengembangan mata ajar yang sesuai dengan program media yang sudah ditetapkan; sistem harus memelihara dan meningkatkan peluang untuk dapat beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan individu; 9) sistem harus mengevaluasi keberhasilan belajar secara sederhana, dengan tidak harus menjadikan hambatan berkaitan dengan tempat dimana pebelajar belajar, kecepatan belajar mereka, metode yang mereka gunakan atau urutan belajar yang mereka lakukan; dan 10) sistem harus memungkinkan pebelajar untuk memulai, berhenti dan belajar sesuai dengan kecepatanya.
Namun demikian, dalam prakteknya, sistem belajar mandiri tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit, tapi lebih bersifat kontinum. Derajat kemandirian belajar yang diberikan oleh suatu lembaga (program) pendidikan kepada pebelajarnya berbeda-beda. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990) menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga aspek: 1) kemandirian didalam menentukan tujuan: apakah pemilihan tujuan belajar ditentukan oleh guru atau oleh pebelajar?; 2) kemandirian dalam metode belajar: apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar (narasumber), dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau pebelajar?; dan 3) kemandirian dalam evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi dan criteria yang digunakan dibuat oleh guru atau pebelajar? Semakin besar peran kendali atau pengambilan keputusan atau inisiatif diberikan kepada pebelajar maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri dari suatu lembaga pendidikan tersebut. Moore juga menggambarkan beberapa tipe program pendidikan ditinjau dari segi kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajarnya seperti berikut:
Derajat Kemandirian Belajar ditinjau dari Aspek Tujuan, Cara/Metode dan Evaluasi
Examples Objective Setting Implemen tation Evaluation
1. Private Study A A A
2. University of London External Degree A A N
3. Learning Sport Skills A N A
4. Learning Car Driving A N N
5. Learner Control Course and Evaluation N A A
6. Learner Control Evaluation N N A
7. Many Independent Study Course N A N
8. Independent Study for Credit N N N
Diadaptasi dari Moore (1977)
Keterangan: A = ditentukan oleh pebelajar (autonomy)
N = bukan ditentukan oleh pebelajar (non-autonomy)
Tabel di atas menjelaskan kontinum sistem belajar mandiri. Jadi, ditinjau dari segi penentuan tujuan, strategi pelaksanaan dan evaluasi, terdapat program pendidikan yang benar-benar menerapkan sistem belajar mandiri, ada yang benar-benar menerapkan sistem belajar bukan mandiri (tergantung) dan ada pula diantara kedua ekstrim ini.
Referensi:
Candy, Philip C., “Independent Learning: Some Ideas from Literature”, ().
Keegan, Desmond, “Foundations of Distance Education”, (London: Routledge, 1990), h. 54.
Knowless, Malcolm S., “Self-Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers”, (Chicago: Association Press: Follet Publishing Company, 1975), h. 18.
University of Western Australia, “Alternative Modes of Teaching and Learning: Self-directed Learning Definition”, ().
Dodds, Tony, “Administration of Distance-Teaching Institutions”, (Terjemahan), (Cambridge: International Extention College, 1983), h. 2.
Kozma, Robert B.; Belle, Lawrence W.; dan Williams George W.; (1978), “Instructional Techniques in Higher Education”, (New Jersey: Educational Technology Publications, 1978) h. 353.
Institut for Distance Education, University of Maryland, “Three Models of Distance Education”, 1997, (http://www.umuc.edu/three_models.html).
Viewed 785 times by 261 viewers
oleh: Hastin noviyanti 1102406005
Rabu, 14 Mei 2008
KONSEP BELAJAR MANDIRI
KONSEP BELAJAR MANDIRI
Apa Gaya Belajar Itu?
Belajar di bidang formal tidak selalu menyenangkan. Apalagi jika Anda harus belajar dengan terpaksa . Misalnya, Anda harus belajar karena itulah satu-satunya cara untuk lulus, mendapat pekerjaan atau bahkan kenaikan pangkat. Contoh lain dari keterpaksaan adalah bila Anda menyukai belajar di kelas dengan bimbingan dosen, sedangkan Anda terpaksa kuliah di Universitas Terbuka (UT) yang mempunyai sistem belajar jarak jauh.
Menghadapi keterpaksaan untuk belajar jelas bukan hal yang menyenangkan. Tidak akan mudah bagi seseorang untuk berkonsentrasi belajar jika ia merasa terpaksa. Oleh karena itu, Anda perlu mencari jalan bagaimana agar belajar menjadi hal yang menyenangkan, atau …. walaupun tetap terpaksa, tapi dapat menjadi lebih mudah dan efektif.
Para ahli di bidang pendidikan mencoba mengembangkan teori mengenai gaya belajar sebagai cara untuk mencari jalan agar belajar menjadi hal yang mudah dan menyenangkan. Sebagaimana kita ketahui, belajar membutuhkan konsentrasi. Situasi dan kondisi untuk berkonsentrasi sangat berhubungan dengan gaya belajar Anda. Jika Anda mengenali gaya belajar Anda, maka Anda dapat mengelola pada kondisi apa, dimana, kapan dan bagaimana Anda dapat memaksimalkan belajar Anda. Apa gaya belajar itu?
Pengaruh Lingkungan Belajar
Lingkungan mempengaruhi kemampuan Anda dalam berkonsentrasi untuk belajar. Anda akan dapat memaksimalkan kemampuan konsentrasi Anda, jika Anda mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap konsentrasi. Jika Anda dapat memaksimalkan konsentrasi, Anda mampu menggunakan kemampuan Anda pada saat dan suasana yang tepat. Dengan demikian Anda dapat menghemat energi. Coba bayangkan jika Anda termasuk orang yang suka belajar di tempat yang sepi dan tenang, sementara teman Anda mengajak belajar di rumahnya sambil memasang musik dengan keras. Mampukah Anda berkonsentrasi dengan maksimal?
Faktor lingkungan yang mempengaruhi konsentrasi belajar adalah suara, pencahayaan, temperatur, dan desain belajar.
a. Suara
Tiap orang mempunyai reaksi yang berbeda terhadap suara. Ada yang menyukai belajar sambil mendengarkan musik keras, musik lembut, ataupun nonton TV. Ada juga yang suka belajar di tempat yang ramai, bersama teman. Tapi ada juga yang tidak dapat berkonsentrasi kalau banyak orang di sekitarnya. Bahkan bagi orang tertentu, musik atau suara apapun akan mengganggu konsentrasi belajar mereka. Mereka memilih belajar tanpa musik atau di tempat yang mereka anggap tenang tanpa suara. Namun, beberapa orang tertentu tidak merasa terganggu baik ada suara ataupun tidak. Mereka tetap dapat berkonsentrasi belajar dalam keadaan apapun.
b. Pencahayaan
Pencahayaan merupakan faktor yang pengaruhnya kurang begitu dirasakan dibandingkan pengaruh suara. Mungkin karena relatif mudah mengatur pencahayaan sesuai dengan yang Anda butuhkan.
c. Temperatur
Pengaruh temperatur terhadap konsentrasi belajar pada umumnya juga tidak terlalu dipermasalahkan orang. Namun, Anda perlu mengetahui bahwa reaksi tiap orang terhadap temperatur berbeda. Ada yang memilih belajar di tempat dingin, atau sejuk; sedangkan orang yang lain memilih tempat yang hangat.
d. Desain Belajar
Jika Anda sedang membaca, menulis, atau meringkas modul yang membutuhkan konsentrasi, coba perhatikan, apakah Anda merasa lebih nyaman untuk melakukannya sambil duduk santai di kursi, sofa, tempat tidur, tikar, karpet atau duduk santai di lantai? Jika salah satu cara tersebut merupakan cara yang membuat Anda lebih mudah berkonsentrasi untuk belajar, maka mungkin Anda termasuk orang yang membutuhkan desain informal atau cara belajar tidak formal yang santai.
Jika Anda termasuk tipe yang membutuhkan desain formal, maka mungkin Anda lebih mudah berkonsentrasi jika belajar dengan kursi dan meja belajar. Lengkapi tempat belajar Anda dengan kalimat-kalimat positif, foto, gambar, atau jadwal belajar yang dapat meningkatkan semangat belajar Anda. Yang penting, sesuaikan dengan tipe Anda, baik tipe informal maupun tipe formal.
Anda telah mengetahui faktor-faktor dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi konsentrasi belajar. Jadi, maksimalkan lingkungan tersebut untuk memaksimalkan konsentrasi belajar Anda.
Kenali Aspek Kesiapan Belajar Anda
Tahukah Anda, apa saja yang menjadi aspek kesiapan belajar? Aspek-aspek tersebut merupakan pilihan. Ada orang yang cocok dengan aspek ABC, sedangkan yang lain lebih cocok dengan aspek XYZ. Yang penting adalah Anda mengenali aspek yang menjadi penentu kesiapan belajar Anda. Jika Anda mengenalnya, Anda dapat mempersiapkan diri secara maksimal.
a. Motivasi
Motivasi tiap orang untuk belajar berbeda-beda. Motivasi sudah ada pada saat seseorang akan melakukan sesuatu, namun mungkin tidak Anda sadari. Anda perlu mengetahui apa sebenarnya motivasi belajar Anda. Atau bisa juga lebih khusus, misalnya apa motivasi Anda untuk mengambil matakuliah tertentu.
Mungkin Anda mengikuti perkuliahan di UT untuk mendapatkan gelar sarjana sebagai syarat kenaikan pangkat. Apapun motivasi Anda, cobalah untuk mengenalinya. Bergabunglah dengan mahasiswa lain yang memiliki motivasi yang sama. Dengan cara tersebut, Anda akan dapat saling memotivasi untuk berhasil. Sebagai contoh: mahasiswa yang mengikuti kuliah di UT sebagai upaya untuk persyaratan kenaikan pangkat, mungkin dapat berkumpul bersama mereka yang memiliki tujuan yang sama untuk saling memotivasi. Bayangkan, jika teman Anda berhasil untuk naik pangkat setelah lulus UT, Anda tentunya akan termotivasi untuk mengikuti jejaknya bukan?!
Anda juga dapat bergabung dengan mereka yang tujuan belajarnya berbeda untuk saling meningkatkan motivasi belajar. Apapun caranya, yang penting adalah memperkuat motivasi belajar Anda.
| Motivasi menggerakkan Anda untuk mencapai tujuan…..!!! |
b. Keteraturan/ketekunan
Dalam mempelajari modul, maka orang yang mempunyai ketekunan tinggi akan berusaha membacanya sampai selesai secara teratur. Mereka akan merasa terganggu kalau suatu topik bahasan yang mereka baca belum terselesaikan. Sedangkan orang yang memiliki ketekunan rendah, mudah kehilangan minat untuk belajar. Mereka tidak merasa terganggu jika mereka tidak selesai membaca modul seluruhnya. Bagi tipe ini, mungkin tugas belajar yang cocok bagi mereka adalah tugas-tugas kecil yang termasuk “short assignment”. Cobalah membaca modul sedikit demi sedikit sambil diselingi kegiatan lain, seperti membuat ringkasan, atau mengerjakan tes formatif. Dengan cara memecah tugas belajar seperti itu, diharapkan Anda akan tetap termotivasi dalam menyelesaikan tugas jangka panjang, yaitu membaca modul secara keseluruhan.
c. Beban Tugas
Tebalnya modul yang harus Anda pelajari seringkali mematahkan semangat untuk belajar. Namun bagi mahasiswa tertentu, semakin tebal atau banyak modul yang harus dibaca, semakin bersemangat dalam belajar. Di sisi lain, ada tipe orang yang justru menganggap berat untuk membaca modul yang banyak dan tebal. Mereka cenderung termotivasi jika beban belajar sedikit. Jika Anda termasukyang alergi terhadap modul yang tebal, maka Anda dapat mencoba untuk membuat tugas membaca modul menjadi “short assignment” seperti pada aspek ketekunan. Buat jadwal membaca modul yang tidak terlalu panjang. Bacalah modul sedikit demi sedikit. Yang terpenting adalah memecah beban tugas menjadi bagian kecil sesuai dengan tipe Anda untuk menjaga semangat belajar.
Jika Anda termasuk tipe kombinasi, maka Anda dapat menggabungkan kiat-kiat belajar dari kedua tipe yang lain.
d. Terstruktur/tidak terstruktur
Mahasiswa tertentu memilih belajar dengan cara/aturan yang terstruktur.Misalnya, belajar dengan jadwal belajar yang teratur, membuat sistem kontrak dalam belajar, atau membutuhkan pengarahan yang rinci dari dosen maupun orang-orang yang lebih tahu. Sebaliknya, Anda mungkin merasa terbebani bila harus membuat jadwal belajar. Jika ini terjadi, Anda mungkin termasuk tipe orang yang tidak terstruktur. Anda tidak perlu merasa bersalah bila Anda justru tidak suka membuat jadwal belajar yang teratur. Anda tetap dapat membuat jadwal belajar dengan gaya Anda sendiri.
|
|
|
Sosialisasi Dalam Belajar
Kemampuan seseorang untuk memahami suatu materi yang sedang dipelajarinya dapat dipengaruhi oleh hubungannya dengan orang lain. Alasan kebutuhan belajar berkelompok ini bisa bermacam-macam, seperti:
- agar termotivasi untuk belajar, karena kelompok yang kuat biasanya akan saling memotivasi untuk belajar;
- lebih mudah memahami suatu informasi/pengetahuan, karena anggota dalam kelompok saling mengisi dalam belajar;
- adanya matakuliah tertentu yang menuntut belajar dalam kelompok sebagai bagian dari kegiatan atau tugas belajar. Sebagai contoh: kalau mahasiswa akan mempelajari mengenai dinamika kelompok, maka diperlukan kegiatan bersama kelompok untuk lebih memahami mengenai dinamika kelompok.
Jika Anda tidak suka belajar dalam kelompok, Anda mungkin dapat memilih belajar sendiri. Disamping itu, ada yang memiliki kecenderungan untuk belajar dengan bimbingan dari orang yang dianggap lebih tahu, seperti guru, dosen, tutor, atau bahkan alumni UT.
Coba kenali kebutuhan sosialisasi Anda. Kemandirian Anda ditentukan oleh kemampuan Anda mengenali kebutuhan sosialisasi Anda. Baik belajar sendiri, dengan bantuan tutor maupun belajar berkelompok; Anda tetap mandiri jika Anda dapat memutuskan kebutuhan sosialisasi ini. Sebagai contoh, jika Anda termasuk tipe orang yang suka belajar berkelompok. Anda memutuskan untuk mengikuti Kelompok Belajar Mahasiswa (KBM). Ini berarti Anda mengenali kebutuhan sosialisasi Anda.
| Kenali kebutuhan sosialisasi Anda.
|
Tahukah Anda?
· Tahukah Anda mudah berkonsentrasi untuk belajar? · Tahukah Anda tahu kapan saat yang paling baik bagi Anda untuk belajar? · Tahukah Anda tahu bagaimana mempergunakan kesempatan belajar dengan efektif? · Tahukah Anda tahu bagaimana memahami materi yang Anda pelajari dengan efektif?
|
Jika Anda menjawab “ya” untuk semua pertanyaan tersebut, maka Anda tidak perlu membaca topik selanjutnya. Namun, jika Anda menjawab “tidak” untuk beberapa pertanyaan tersebut,
(Sella khafida / KTP 4)SLTP Terbuka untuk Motivasi Belajar Mandiri
Nama : Gian Ami Wijaya
NIM : 1102406055
Jakarta, Sinar Harapan
”Perlombaan motivasi belajar mandiri yang diselenggarakan bagi siswa SLTP terbuka ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan motivasi belajar secara mandiri. Motivasi adalah modal dasar untuk kemajuan setiap orang dan satu bangsa,” demikian Mendiknas, Malik Fajar membuka Perlombaan Motivasi Belajar Mandiri Siswa SLTP terbuka, di Depdiknas, Rabu Malam (13/8).
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Hamid Muhammad menjelaskan bahwa proses belajar SLTP terbuka memiliki berbeda dengan yang umum. SLTP terbuka dapat menggunakan musolah dan rumah penduduk untuk belajar. Dengan buku modul dibimbing guru pamong, kegiatan belajar dapat dilakukan.
Guru bina dari sekolah induk hadir dua kali seminggu. SLTP terbuka ini biasanya memiliki paling banyak 20 murid dan sangat mengandalkan motivasi untuk belajar. ”Tanpa motivasi, SLTP ini tidak akan berjalan. Motivasi belajar adalah untuk maju dan melanjutkan sekolah,” jelasnya.
”Mereka didorong untuk mengembankan ketrampilan yang potensial di daerahnya, selain pendidikan seperti biasa di SLTP. Tapi tekanannya adalah produksi ketrampilan dan pemasarannya,” tegas Hamid Muhammad.
Jumlah SLTP terbuka sudah 2.800 unit di seluruh Indonesia. Batas usia sama dengan SLTP biasa, 11-18 tahun. Semenjak 2001 sudah disiapkan 1.000 SLTP yang dibantu block grant masing masing Rp 30 juta/sekolah setiap tahun, tidak termasuk modul. SLTP terbuka ini sudah berjalan semenjak tahun 1979. 93% lulusannya bekerja mandiri, sisanya 7% melanjutkan sekolah formal
SLTP terbuka ini adalah pengganti SLTP malam. Pelajarnya adalah dari golongan yang tidak mampu, sehingga tidak dipungut biaya. Semua cuma-cuma dari masuk, ulangan dan ujian SLTP-nya. Mereka mendapat ijazah standar dari SLTP induk. SLTP induk memberikan nomor induk siswa, rapor dan fasilitas ulangan umum termasuk ujian akhir, dan tempat kegiatan belajar (TKB) yang berjumlah 20 orang.
Beberapa LSM sudah terlibat mendirikan SLTP terbuka ini. Mendirikannya adalah dengan mendaftarkan SLTP ini ke sekolah induk baik negeri maupun swasta.
Guru pamong berasal dari tokoh masyarakat setempat, bertugas membimbing murid belajar. Kalau tidak mengerti akan dibantu oleh guru bina. Guru pamong digaji oleh pemerintah sekitar Rp 50 ribu/bulan.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indrajati Sidi menegaskan bahwa SLTP terbuka ini merupakan sistim yang bagus dikala negara kekurangan dana. ” Membangun sekolah dengan murid hanya 10-20 orang justru akan rugi. Tapi dengan SLTP terbuka ini murid-murid tersbut bisa belajar. Kita tidak perlu bikin gedung permanen dan cukup di kaitkan dengan SLTP induk. TKB bisa di mana saj, demikian Indrajati Sidi.
Sumber :
www.sinarharapan.co.id/berita/0308/14/nas07.html - 21k
Rabu, 07 Mei 2008
BELAJAR MANDIRI
STRATEGI BELAJAR MANDIRI
Strategi belajar bersifat individual, artinya strategi belajar yang efektif bagi diri seseorang belum tentu efektif bagi orang lain. Untuk memperoleh strategi belajar efektif, seseorang perlu mengetahui serangkaian konsep yang akan membawanya menemukan strategi belajar yang paling efektif bagi dirinya.
| |
| |
| |
| |
| MediaBelajarMandiri |
| |
|
Belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri. Seringkali orang menyalahartikan belajar mandiri sebagai belajar sendiri. Kesalahpengertian tersebut terjadi karena pada umumnya mereka yang kuliah di UT cenderung belajar sendiri tanpa tutor atau teman kuliah. Belajar mandiri berarti belajar secara berinisiatif, dengan ataupun tanpa bantuan orang lain, dalam belajar.
Sebagai mahasiswa yang mandiri, Anda tidak harus mengetahui semua hal. Anda juga tidak diharapkan menjadi mahasiswa jenius yang tidak membutuhkan bantuan orang lain. Salah satu prinsip belajar mandiri adalah Anda mampu mengetahui kapan Anda membutuhkan bantuan atau dukungan pihak lain. Pengertian tersebut termasuk mengetahui kapan Anda perlu bertemu dengan mahasiswa lain, kelompok belajar, pengurus administrasi di UPBJJ, tutor, atau bahkan tetangga yang kuliah di universitas lain. Bantuan/dukungan dapat berupa kegiatan saling memotivasi untuk belajar, misalnya, mengobrol dengan tetangga yang kuliah di universitas lain, seringkali dapat memotivasi diri kita untuk giat belajar. Bantuan/dukungan dapat juga berarti kamus, buku literatur pendukung, kasus dari surat kabar, berita dari radio atau televisi, perpustakaan, informasi tentang jadwal tutorial, dan hal lain yang tidak berhubungan dengan orang.
Yang terpenting adalah Anda mampu mengidentifikasi sumber-sumber informasi. Identifikasi sumber informasi ini dibutuhkan untuk memperlancar proses belajar Anda pada saat Anda membutuhkan bantuan atau dukungan.
Salah satu ciri utama belajar jarak jauh adalah penggunaan media belajar. Media belajar utama di UT adalah bahan ajar cetak yang dikenal sebagai modul modul. Masing-masing media mempunyai kelebihan dan kekurangan. Anda dapat memilih media mana yang sesuai untuk mendukung belajar Anda. Klik Belajar Efektif dengan Media untuk mengetahui lebih jauh mengenai media belajar. Pada topik tersebut, Anda akan memperoleh informasi mengenai kiat-kiat memaksimalkan penggunaan media untuk kepentingan belajar
Penggunaan media untuk kepentingan belajar ini juga merupakan salah satu bentuk strategi belajar. Sebagai contoh, media audio akan sangat membantu bagi orang yang memiliki gaya belajar "auditorial". Penjelasan lebih lanjut mengenai gaya belajar dapat Anda peroleh pada topik Mengenali Gaya Belajar.
Penggunaan media untuk belajar sering dianggap aneh karena tidak biasa bagi mereka yang terbiasa belajar tatap muka. Pada proses belajar jarak jauh, penggunaan media bukan sesuatu yang aneh. Sebagai mahasiswa UT bagaimana jika Anda mencoba mengenali media-media belajar yang disediakan UT? Siapa tahu Anda akan merasa lebih mudah untuk belajar melalui media pendukung tersebut? Siapa tahu juga, media pendukung tersebut dapat menjadi strategi belajar yang efektif bagi Anda?
Adanya jarak secara fisik antara pengajar dan mahasiswa, membuat beberapa fungsi pengajar tidak berperan, seperti misalnya fungsi pengajar dalam memberikan materi ajar pada saat perkuliahan atau fungsi pengajar dalam mendisiplinkan mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan. Fungsi-fungsi pengajar semacam itulah yang tidak ada pada sistem BJJ, sehingga harus disiasati sendiri oleh mahasiswa BJJ melalui strategi belajar. Misalnya, Anda harus pandai membuat jadwal untuk membaca bahan ajar, melalui modul atau media lain, sebagai salah satu cara berkomunikasi dengan pengajar. Materi ajar mewakili pengajar karena materi ajar merupakan hasil pemikiran pengajar. Anda juga harus mensiasati diri sendiri untuk berdisiplin melaksanakan jadwal yang telah Anda buat. Jika mahasiswa pada umumnya harus berdisiplin pergi ke kuliah, maka Anda dapat merencanakan sejumlah waktu yang sama untuk dipakai membaca modul. Anda justru beruntung karena dapat belajar di mana saja. Yang harus Anda lakukan adalah berdisiplin untuk menentukan kapan saat belajar.
Merencanakan strategi belajar merupakan keterampilan khusus yang perlu dikembangkan mahasiswa BJJ. Sebagai mahasiswa BJJ, Anda tidak dapat menggunakan kebiasaan belajar tatap muka jika ingin berhasil. Jika Anda membawa kebiasaan belajar tatap muka untuk belajar pada sistem BJJ, maka Anda akan mengalami berbagai kesulitan. Sebagai contoh, Anda mungkin terlalu sibuk bekerja sehingga lupa belajar. Anda juga dapat terjebak pada kegiatan rutin di rumah seperti mengurus anak, arisan, rapat RT; sehingga Anda tidak terampil untuk mensiasati waktu belajar Anda. Dalam proses belajar jarak jauh, tidak ada orang (guru/dosen) yang membantu Anda untuk mengingatkan atau menyuruh Anda belajar selain diri Anda sendiri. Hanya diri Anda yang dapat memicu dan memacu proses belajar Anda.
Kebiasaan belajar tatap muka tidak mudah diganti begitu saja. Oleh karena itu, mahasiswa BJJ perlu belajar mengenai keterampilan khusus yang dapat membantu Anda untuk belajar mengenai bagaimana caranya belajar. Dengan mempelajari berbagai keterampilan khusus dalam belajar ini, maka Anda akan dapat mensiasati belajar dalam sistem BJJ, seperti Universitas Terbuka.
( Deby Arcellina Irmawaty / KTP 4)