Rabu, 11 Juni 2008

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PELAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK CERDAS ISTIMEWA

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan tentang perlunya memberikan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi dan kecerdasan istimewa. Hal ini dilakukan agar potensi yang ada pada peserta didik dapat berkembang secara optimal dan pada gilirannya memberikan mereka dapat tumbuh menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri,
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa telah dilakukan sejak tahun 1974 Pemberian beasiswa bagi peserta didik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi keluarganya. Sementara itu pelayanan dalam bentuk percepatan belajar/akselerasi telah dirintis pada tahun 1998 dengan melakukan ujicoba pelayanan pendidikan bagi anak berpotensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam pada 2 sekolah swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah swasta di Jawa Barat yang mendapat arahan dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan, kebijakan pemerintah mengenai pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi dan/atau bakat istimewa terus mengalami penyempurnaan. Hal tersebut dilakukan agar pelayanan yang diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan mengarah pada berkembangnya potensi mereka. Pemikiran di atas ditunjang dari hasil penelitian tentang program percepatan belajar terhadap 20 SMA Unggulan di 16 propinsi di Indonesia yang menyimpulkan bahwa program ini dianggap tidak cukup memberikan dampak positif pada peserta didik berbakat untuk mengembangkan potensi intelektual yang tinggi. Salah satu faktor penyebabnya adalah data yang menunjukkan 25,3% peserta didik SMA Unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata dan hanya 9,7% yang tergolong anak memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Hawadi, dkk., 1998).
Temuan tersebut tentu saja sangat memprihatinkan karena dengan kemampuan intelektual yang terbatas, peserta didik “dipaksa” untuk mengikuti program yang menuntut kerja intelektual yang tinggi. Hal-hal semacam ini yang seringkali menimbulkan implikasi negatif terhadap program akselerasi yang dilakukan, karena peserta didik tidak lagi memperoleh kenyamanan dalam mengikuti pendidikan tetapi berada dalam situasi yang terkekang dan terpaksa. Di sisi lain, guru yang mengajar di program akselerasi relatif tidak disiapkan untuk mengajar peserta didik cerdas istimewa. Hal ini mengakibatkan layanan yang diberikan guru tidak membantu berkembangnya potensi intelektual peserta didik.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, pada tahun anggaran 2007, Direktorat Pembinaan SLB melakukan serangkaian diskusi dan workshop yang melibatkan para psikolog, akademisi, pendidik, dan pengelola program akselerasi untuk melakukan penyempurnaan konsep dan pedoman dengan memperhatikan berbagai kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP no. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan serta berbagai aturan pemerintah lainnya yang terkait. Beberapa poin penting dari hasil penyempurnaan tersebut, akan disajikan secara ringkas pada bagian berikut ini.
Dari aspek kesiswaan, tes yang digunakan untuk merekrut siswa baru program akselerasi menggunakan tiga komponen yaitu: tes IQ, kreativitas, dan task commitment. Khusus mengenai tes IQ, skala minimal yang ditetapkan oleh para psikolog adalah 130 atau pada tingkatan very superior. Untuk tes IQ, para psikolog telah merekomendasikan beberapa jenis alat tes antara lain: Wechsler Intelligence Scale for Children, Stanford Binet atau Culture Fair Intelligence Test Skala 2A/2B.
Dari aspek kurikulum, pendidikan untuk anak cerdas istimewa membutuhkan diferensiasi kurikulum yaitu memberikan tugas dan kegiatan belajar yang berbeda dari rata-rata anak seusianya sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Diferensiasi kurikulum bagi peserta didik cerdas istimewa dapat dilakukan melalui tiga jalur: enrichment (pengayaan) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan perluasan materi kurikulum, extension (pendalaman) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan investigasi bidang studi secara lebih mendalam, dan acceleration (percepatan) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan untuk menyelesaikan materi belajar dalam waktu yang lebih singkat (Davis dan Rimm, 1998).
Pengayaan berarti memperkaya, memperluas, dan mengembangkan: pengetahuan/informasi, pemahaman, aplikasi dan integrasi, proses berpikir, strategi dan keterampilan, tampilan fisik, sikap terhadap pemikiran abstrak tingkat tinggi dan/atau kinerja pada suatu tingkat kompleksitas sesuai tingkat perkembangan peserta didik (Davis dan Rimm, 1998). Kegiatan pengayaan dapat dilakukan dalam beberapa bentuk seperti studi ekskursi, topik-topik pilihan, projek individual ataupun kelompok, serta penelitian. Kegiatan pendalaman dapat dilakukan dalam bentuk pembelajaran berbasis ICT, pusat-pusat pembelajaran (learning centre) sesuai bidang studi, kontrak pembelajaran mandiri, mentoring, kompetisi bidang studi, ataupun pembelajaran berbasis sumber daya belajar (resource based learning).
Dalam pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik cerdas istimewa tidak cukup hanya dengan dimenukan dengan standar isi maupun standar kompetensi yang saat ini ada. Istilah standar mengacu pada pengertian threshold atau minimal, Mengingat peserta didik yang akan diajar adalah peserta didik cerdas istimewa, terasa janggal apabila harus disajikan dengan menu materi /isi pelajaran yang standar yang merupakan threshold bagi peserta didik regular yang kecerdasannya sedang/normal (Supriyanto, 2007)
Dalam pandangan konstruktivistik pembelajaran harus kontekstual dan memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan pengalaman pembelajarannya. Atas dasar itu pembelajaran yang baik harus dirancang berbasis pada kontek sosial sekolah, konteks peserta didik serta konteks kompetensi yang dituju. Oleh Johnson (2002) dipertegas bahwa pembelajaran yang kontektual harus dirancang sesuai dengan karakter peserta didik. Apabila peserta didik yang dihadapi memiliki kunggulan maka pembelajaran harus dirancang dengan keunggulan dalam isi maupun dalam prosesnya.
Peserta didik dengan kecerdasan istimewa yang mempunyai kelebihan dalam kecepatan menyelesaikan tugas, mempunyai tingkat keunggulan dalam abtraksi berfikir memerlukan perancangan pembelajaran yang lebih cepat dan lebih unggul dalam tantangan berfikir (Renzulli, 1991). Persoalan yang kemudian muncul terkait dengan pelayanan pembelajaran bagi peserta didik cerdas istimewa bagi guru adalah bagaimana mengolah standar Isi (Kepmendiknas 22) untuk dimodifikasi menjadi isi yang sesuai dengan keunggulan peserta didik cerdas istimewa dan meningkatkan tantangan taraf berfikir yang cocok dengan peserta didik yang cerdas tersebut.
Penetapan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik cerdas istimewa membawa konskwensi kepada guru untuk memodifikasi kegiatan pembelajaran bagi peserta didik reguler ke corak kegiatan pembelajaran yang menuntut corak berfikir tingkat tinggi. Pola kegiatan pembelajaran yang demikian luas cakupan dimensinya tidak cukup menggunakan pola one way traffic, sehingga pola seperti pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) maupun mengutamakan produk/proyek lebih banyak digunakan. Sebagai konskwensi dari pemilihan tipe problem solving yang demikian selanjutnya mengharuskan guru untuk menetapkan bobot materi juga harus bertipe setidaknya C-4 (analisis) dan jika dimungkinkan sampai C-6 (evaluasi) yang mendorong peserta didik berfikir tingkat tinggi dan kritis. Untuk menunjang itu guru tidak mungkin asal memindahkan materi dalam buku paket tetapi harus menseleksi materi dari buku bahkan harus mencari rujukan lain yang lebih berbobot. Sudah saatnya dalam konteks ini guru meninggalkan cara memilih materi pelajaran dengan bertumpu pada buku paket.
Berdasarkan konsep-konsep di atas, seyogyanya mengajar pada kelas peserta didik cerdas istimewa tidak hanya menambahkan dengan penggunaan teknologi informasi dan kominikasi (ICT) tetapi harus pula ditingkatkan bobot materi pelajaran dan bobot kegiatan pembelajaran, sebab tanpa itu sesungguhnya guru telah memberlakukan menu pembelajaran dengan materi yang tidak sesuai dengan karakter mereka yang berkemampuan diatas rerata peserta didik. Disinilah diperlukan guru yang berkedudukan sebagai agen pembelajaran dan profesional. Pembelajaran untuk peserta didik cerdas istimewa memerlukan bentuk pelaksanaan yang multi dimensi agar semua potensi yang istimewa dapat dikembangkan.
Dalam upaya mengembangkan kurikulum dan pembelajaran untuk pendidikan bagi anak cerdas istimewa, Direktorat PSLB telah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi yang memiliki fakultas MIPA dan psikologi. Perguruan tinggi tersebut didorong untuk memberikan pendampingan bagi sekolah-sekolah yang menyelenggarakan program akselerasi dalam mengembangkan kemampuan belajar siswa maupun guru yang mengajar di program tersebut.
Di sisi lain, proses pembelajaran yang dilakukan untuk peserta didik bekecerdasan istimewa tetap mengusung nilai-nilai inklusivisitas. Artinya peserta didik cerdas istimewa dimungkinkan untuk bergabung dengan peserta didik program reguler untuk mata pelajaran-mata pelajaran tertentu. Hal ini perlu dilakukan agar peserta didik cerdas istimewa tidak merasa sebagai sebuah kelompok eksklusif yang dapat menimbulkan rasa percaya diri yang berlebihan (superiority complex). Sementara itu peran guru bimbingan dan konseling (BK) juga ditingkatkan dalam upaya mengoptimalkan potensi kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Upaya ini dilakukan agar penyelenggaraan progam akselerasi tidak hanya menekankan pada perkembangan intelektual, tetapi harus memperhatikan perkembangan emosional dan sosial anak yang seirama dengan perkembangan keremajaannya. Selain itu program BK diharapkan dapat mencegah dan mengatasi potensi-potensi negatif yang dapat terjadi dalam proses percepatan belajar. Upaya ini dilakukan dengan membangun kerjasama dengan psikolog pendidikan dan perkembangan dari fakultas/jurusan psikologi di beberapa perguruan tinggi yang telah menjalin MoU dengan Direktorat PSLB.
Dari aspek kelembagaan dan manajemen sekolah, orientasi yang dikembangkan oleh Direktorat PSLB adalah pemberdayaan manajemen penyelenggara program akselerasi. Sekolah penyelenggara diwajibkan untuk memiliki kepala/manajer program akselerasi yang tidak dirangkap oleh kepala sekolah. Hal ini dilakukan agar penyelenggaraan program berlangsung secara efektif dan pengembangan program dilakukan secara berkesinambungan. Sebagaimana diketahui secara kelembagaan, sekolah/madrasah penyelenggara program akselerasi berada di bawah pembinaan direktorat teknis sesuai dengan jenjang sekolah yang bersangkutan. Sedangkan Direktorat PSLB memberikan pembinaan pada penyelenggaraan programnya.
Sekolah-sekolah yang telah menjadi penyelenggara maupun yang ingin merintis pelayanan bagi peserta didik cerdas istimewa diharapkan untuk melakukan pemetaan (mapping) yang menggambarkan populasi anak cerdas istimewa di lingkungan sekolah tersebut. Dengan demikian, penyelenggaraan program akan terjaga kontinuitasnya dengan adanya jumlah input yang terjamin berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penyelenggaraan program yang mengikutsertakan calon siswa yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria. Oleh karena itu, kebijakan yang dikembangkan oleh Direktorat PSLB bukan meningkatkan kuantitas sekolah penyelenggara program layanan bagi anak cerdas istimewa, tetapi mendorong peningkatan kualitas. Namun demikian, peluang untuk membuka program layanan bagi anak cerdas istimewa dalam bentuk kelas di sekolah reguler maupun sekolah khusus tetap dibuka dengan mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan.
Demikianlah beberapa hal-hal yang perlu menjadi perhatian bagi sekolah, orang tua maupun pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan bagi anak cerdas istimewa. Diharapkan diwaktu-waktu mendatang, efektivitas penyelenggaraan program ini semacam ini terus meningkat dan pada gilirannya dapat mewujudkan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Daftar Pustaka
Davis, G. A. & Rimm, S. B. (1998). Teaching The Gifted And Talented Children. Boston: Allyn & Bacon.
Direktorat Pembinaan SLB (2007). Penatalaksanaan Psikologi Program Akselerasi. Jakarta: Direktorat PSLB.
Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah no. 20 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Suprianto, Eko (2007). Pengembangan Model Pembelajaran bagi Siswa CI dan BI. Makalah dipresentasi dalam ”Sosialisasi Pengelola Layanan Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik Cerdas dan/atau Bakat Istimewa” Juli 2007 di Menado.
UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
DEBY ARCELLINA IRMAWATY/ KURTEKDIK/ 1102406041

Senin, 09 Juni 2008

::SISTEM BELAJAR MANDIRI::

Sampai saat ini, belajar mandiri dikenal sebagai salah satu sistem pembelajaran yang diterapkan dalam pendidikan terbuka atau jarak jauh. Tidak semua orang memahami dengan baik konsep belajar mandiri, bahkan akademisi. Berdasarkan pengalaman penulis, di kampus, beberapa akademisi (mahasiswa) masih banyak yang belum memahami betul tentang konsep belajar mandiri atau istilah terkait lain seperti belajar individual, belajar sendiri, belajar terbuka atau jarak jauh, dll. Ada beberapa pertanyaan fundamental yang sering muncul di kalangan akademisi: 1) apakah sebenarnya yang dimaksud dengan belajar mandiri?; 2) mengapa belajar mandiri diterapkan untuk pendidikan terbuka atau jarak jauh?; 3) apakah hanya dapat diterapkan dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh?; 4) dapatkah diterapkan dalam pendidikan konvensional?; 5) jika jawabannya ya, mengapa dan bagaimana?


PEMBAHASAN. KONSEPSI BELAJAR MANDIRI

Ada beberapa istilah yang mengacu pada pengertian yang sama tentang belajar mandiri. Istilah-istilah tersebut antara lain adalah 1) independent learning, 2) sel-directed learning, 3) autonomous learning.1) Wedemeyer (1973) menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah cara belajar yang memberikan derajat kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar kepada pebelajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajarnya. Pebelajar mendapatkan bantuan bimbingan dari guru atau orang lain tapi bukan bearti harus bergantung kepada mereka.2)
Rowntree (1992), mengutip pernyataan Lewis dan Spenser (1986) menjelaskan bahwa ciri utama pendidikan terbuka yang menerapkan sistem belajar mandiri adalah adanya komitmen untuk membantu pebelajar memperoleh kemandirian dalam menentukan keputusan sendiri tentang 1) tujuan atau hasil belajar yang ingin dicapainya; 2) mata ajar, tema, topic atau issu yang akan ia pelajari; 3) sumber-sumber belajar dan metode yang akan digunakan; dan 4) kapan, bagaimana serta dalam hal apa keberhasilan belajarnya akan diuji (dinilai).
Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber belajarnya (materi dan sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).


KARAKTERISTIK BELAJAR MANDIRI

Belajar mandiri juga tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit, tapi merupakan suatu kontinum. Inti dari konsep belajar mandiri terletak pada otonomi belajar. Artinya, semakin besar derajat otonomi/kemandirian (peran kendali, inisiatif, atau pengambilan keputusan) diberikan oleh suatu lembaga pendidikan (guru/dosen) kepada pebelajar dalam menentukan keempat komponen diatas, maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan tersebut. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990) menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga asoek 1) kemandirian dalam menentukan tujuan: apakah penentuan tujuan belajar ditentukan oleh guru atau pebelajar? 2) kemandirian dalam menentukan metode belajar: apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau pebelajar?; 3) kemandirian dalam menentukan evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi serta criteria yang digunakan ditentukan guru atau pebelajar?



TUJUAN

Belajar Mandiri: antara Pendidikan Jarak Jauh dan Pola KonvensionalDengan melihat konsepsi dan karakteristik belajar mandiri diatas, maka timbul pertanyaan, “Apakah belajar mandiri hanya dapat diterapkan dalam pendidikan jarak jauh?” Mengapa pendidikan jarak jauh menggunakan sistem belajar mandiri? Apakah sistem belajar mandiri dapat diterapkan dalam pola konvensional?
Pada prinsipnya, sejauh suatu sistem pembelajaran memberikan otonomi/kemandirian yang lebih besar kepada pebelajar untuk mengendalikan belajarnya maka dapat dikatakan bahwa sistem pembelajaran tersebut menerapkan sistem belajar mandiri. Knowless mengatakan bahwa beda antara pembelajaran yang menggunakan sistem belajar mandiri dengan yang tidak dapat dilihat dari: 1) apakah pembelajaran yang digunakan lebih berpusat pada pebelajar (student centered) atau tidak; 2) apakah pembelajaran yang digunakan lebih bersifat dari bawah ke atas (bottom-up) atau tidak; dan 3) apakah pembelajaran yang digunakan lebih banyak dikendalikan oleh pebelajar (student-directed) atau guru.



KONSEKUENSI PENERAPAN SISTEM BELAJAR MANDIRI

Race (1994)13), mengidentifikasi bahwa peristiwa belajar yang optimal terjadi apabila:• Pebelajar merasa menginginkan untuk belajar (want to learn).• Belajar dengan melakukan (learning by doing) melalui praktek, trial and error dan lain-lain.• Belajar dari umpan balik (learning from feedback), baik dari orang lain (tutor, guru, teman) atau diri sendiri (seeing the result).• Mendalami sendiri (digesting), artinya membuat apa yang telah mereka pelajari masuk akal dan dapat dirasakan sendiri aplikasinya bagi kehidupannya.


SISTEM BELAJAR MANDIRI DALAM POLA PENDIDIKAN KONVENSIONAL:

CONTOH KASUS

Penulis telah mencoba menerapkan sistem belajar mandiri dalam beberapa mata kuliah yang penulis ampu. Salah satunya adalah dalam mata kuliah Pengenalan Komputer untuk mahasiswa S1 Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Dalam mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat menguasai minimal tiga program aplikasi komputer, yaitu MS Word, MSExcel dan MSPowerPoint. Sistem belajar mandiri ini dilakukan tiak semata-mata sebagai metode, tapi penulis mencoba melalui segala ktifitas yang dilakukan didalamnya berharap agar para mahasiswa tersebut secara tidak dapat mengembangkan keterampilan belajar mandiri.


KESIMPULAN

Sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih menitik beratkan peran otonomi belajar kepada pebelajar. Dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber belajarnya (materi & sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).Belajar mandiri juga dapat dipandang sebagai proses (metode) maupun produk (tujuan). Sebagai proses, belajar mandiri dijadikan sebagai metode dalam sistem pembelajaran tertentu.

^^SELLA KHAFIDA^^ // 4
KURTEKDIK

" MOTIVASI DALAM BELAJAR MANDIRI "

MOTIVASI DALAM BELAJAR MANDIRI




( oleh drs. robert j.songgok )
1. GURU SEBAGAI PENGGERAK MOTIVASI
Sebagai seorang guru, kita memiliki pelbagai tanggung jawab dan tugas yang harus dilaksanakan sesuai dengan tuntutan profesi guru.Tugas utama dan terpenting yang menjadi tanggung jawab seorang guru adalah memajukan, merangsang dan membimbing pelajar dalam proses belajar. Segala usaha kearah itu harus dirancang dan dilaksanakan. Guru yang berkesan dalam menjalankan tugasnya adalah guru yang berjaya menjadikan pelajarnya bermotivasi dalam pelajaran. Oleh itu untuk keberkesanan dalam pengajaran, guru harus berusaha memahami makna motivasi belajar itu sendiri dan mengembangkan serta menggerakkan motivasi pemberlajaran pelajar itu ke tahap yang maksimum.Guru dapat memahami motivasi belajar jika sewaktu mengajar dia dapat melaksanakan langkah-langkah seperti berikut:
1. Mengenal pasti tingkat kecerdasan para pelajar.
2. Melaksanakan teknik memotivasi pelajar.
3. Merumuskan tujuan belajar dan mengaitkan tujuan itu dengan keperluan dan minat pelajar.
4. Menerapkan kemahiran bertanya kepada pelajar.
5. Melaksanakan aktiviti pengajaran dengan urutan yang sistematik.
6. Melaksanakan penilaian diagnostik.
7. Melaksanakan komunikasi interpersonal.
Memotivasi pelajar merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pengajaran dan pembelajaran. Jika guru telah berjaya membangun motivasi pelajar semasa pengajaran dan pembelajaran bermakna guru itu telah berjaya mengajar. Namun pekerjaan ini tidaklah mudah. Memotivasi pelajar tidak hanya menggerakkan pelajar agar aktif dalam pelajaran, tetapi juga mengarahkan dan menjadikan pelajar terdorong untuk belajar secara terus menerus, walaupun dia berada di luar kelas ataupun setelah meninggalkan sekolah.Untuk meyakinkan diri kita bahawa memotivasi pelajar dalam belajar merupakan tugas guru dan berkewajiban pula melaksanakannya, maka pendekatan Behavioristik perlu kita jadikan pedoman dalam mengajar. Para pakar Behavioristik mengemukakan bahawa motivasi ditentukan oleh persekitaran. Guru merupakan persekitaran yang sangat berperanan di dalam proses belajar. Oleh kerana itu, meningkatkan motivasi pelajar dalam pelajaran merupakan tugas yang sangat penting bagi guru.Mengapa usaha memotivasi pelajar itu sangat penting bagi guru? Sesetengah guru mungkin beranggapan bahawa tugas mereka sebagai guru hanyalah mengajar sahaja, bukan menimbulkan minat pelajar terhadap apa yang mereka ajarkan.
Guru-guru seperti ini menghabiskan masa mereka di dalam kelas semata-mata hanya untuk menuangkan bahan pelajaran kepada pelajar. Mereka tidak peduli sama ada isi pelajaran yang mereka ajarkan atau yang mereka terangkan itu dapat diterima oleh pelajar untuk dijadikan sebagai miliknya atau tidak. Mereka tidak memperhatikan apakah bahan yang mereka ajarkan itu bermanfaat dan mempengaruhi tingkah laku atau perkembangan pelajar ke arah yang positif.
Guru-guru seperti ini tidak menyedari bahawa pelajar-pelajar yang tidak berminat tidak akan dapat menerima pelajaran dengan baik.Pelajar yang tidak berminat terhadap apa yang diajarkan oleh guru tetapi dia diharuskan mempelajarinya, dapat menimbulkan suatu perasaan benci terhadap mata pelajaran itu, bahkan untuk selanjutnya pelajar itu tidak akan ingin pernah mempelajarinya. Di dalam kelas yang kita ajar mungkin kita akan mendengar pelajar berkata, “Saya tidak mampu belajar Bahasa Inggeris” atau “Saya tidak dapat belajar matematik.” Jika kita teliti permasalahannya, bukan kerana kedua-dua mata pelajaran tersebut sukar atau tidak menyenangkan, tetapi kerana guru kedua-dua mata pelajaran itu tidak menggunakan strategi yang berkesan, sehingga pelajar tidak tertarik untuk mempelajarinya. Pelajar tidak bermotivasi, malahan merasakan mata pelajaran tersebut menjadi menyiksa mereka.
Guru seharusnya menggunakan masa yang banyak sewaktu mengajar untuk memotivasi pelajar-pelajarnya. Pelajar yang termotivasi dengan baik dalam pelajaran akan melakukan lebih banyak aktiviti dan lebih cepat belajar jika dibandingkan dengan pelajar yang kurang atau tidak termotivasi semasa belajar. Ini memandangkan, jika guru dapat membangunkan motivasi pelajar terhadap pelajaran yang diajar maka diharapkan pelajar akan sentiasa meminati mata pelajaran tersebut. Sesungguhnya usaha memotivasi pelajar dalam pendidikan adalah merupakan suatu proses :
(1) membimbing pelajar untuk memasuki pelbagai pengalaman yakni proses belajar sedang berlangsung;
(2) proses menimbulkan semangat dan keaktifan pada diri pelajar sehingga dia benar-benar bersedia untuk belajar; dan
(3) proses yang menyebabkan perhatian pelajar tertumpu kepada satu arah atau tujuan pada satu masa, iaitu tujuan belajar.Situasi kelas yang pelajar-pelajarnya termotivasi dapat mempengaruhi sikap belajar dan tingkah laku pelajar.
Pelajar yang termotivasi untuk belajar akan sangat tertarik dengan berbagai tugas belajar yang sedang mereka kerjakan; menunjukkan ketekunan yang tinggi; variasi aktiviti belajar mereka pun akan lebih banyak. Di samping keterlibatan mereka dalam belajar lebih besar, mereka juga kurang menyukai tingkah laku yang negatif yang dapat menimbulkan masalah disiplin. Oleh kerana itu, dalam upaya menjaga dan meningkatkan disiplin kelas maka motivasi pelajar mesti dipertimbangkan. Ini bermakna meningkatkan motivasi pelajar dalam belajar merupakan suatu cara yang baik dalam menghindari tingkah laku pelajar yang negatif, kerana mereka terlibat aktif dalam belajar dan terangsang untuk belajar.
Sebenarnya tujuan jangka panjang dalam membangun dan mengembangkan motivasi pelajar dalam belajar adalah terbentuknya motivasi kendiri. Kita sebagai guru ingin agar pelajar selalu terdorong untuk mengembangkan minatnya untuk belajar walau di mana pun dia berada. Kita berharap agar pelajar-pelajar kita sentiasa ingin menimba pelbagai ilmu pengetahuan walaupun mereka telah lepas dari bimbingan kita.
Tujuan pendidikan yang paling utama adalah untuk membangkitkan dalam diri pelajar suatu motivasi yang kuat dan terus menerus untuk belajar. Hal ini akan menjadi suatu kecenderungan dan kebiasaan dalam melakukan proses belajar selanjutnya.Yang menjadi persoalan sekarang ialah bagaimana caranya kita semasa melakukan pelbagai usaha untuk membangun dan mengembangkan motivasi pelajar semasa belajar? Para pakar Humanistik, misalnya Carl Rogers, seorang pakar psikologi mengemukakan bahawa pada dasarnya di dalam diri setiap manusia ada keinginan yang sangat kuat untuk belajar yang bersifat semulajadi. Jadi, di dalam diri pelajar keinginan itu sudah ada. Guru hanya mengembangkan atau memupuk keinginan itu sehingga keinginan belajar itu dapat direalisasikan dalam bentuk prestasi yang maksimum.
Para pakar Behavioristk pula, misalnya B.F. Skinner, seorang pakar pendidikan mengemukakan bahawa motivasi pelajar sangat ditentukan oleh persekitarannya. Pelajar akan termotivasi semasa belajar jika persekitaran belajar dapat memberikan rangsangan sehingga pelajar tertarik untuk belajar. Guru harus mengatur persekitaran atau suasana belajar secara bijaksana sehingga pelajar termotivasi untuk belajar. Dalam proses mengajar dan belajar, guru dituntut memiliki pelbagai pengetahuan dan pemahaman yang bermanfaat untuk menimbulkan dan meningkatkan motivasi pelajarnya semasa belajar, sehingga proses belajar yang dibimbingnya berjaya secara optimal. Oleh kerana itu, guru perlu memahami dan menghayati serta menerapkan berbagai prinsip dan teknik-teknik untuk membangkitkan dan meningkatkan motivasi pelajar dalam pembelajaran. Memang banyak sekali prinsip dan teknik yang berbeza-beza yang perlu diketahui oleh guru, kerana di dalam usaha memotivasi pelajar sesungguhnya tidak hanya satu prinsip dan teknik yang paling mujarab dipakai untuk semua pelajar, sepanjang masa, dan untuk semua situasi. Beberapa mata pelajaran, berbeza keperibadian pelajar, dan berbeza keperibadian guru menuntut perbezaan prinsip dan teknik yang dipakai dalam memotivasi pelajar.
Oleh kerana itu, perbezaan mata pelajaran, keperibadian pelajar dan keperibadian guru harus dipertimbangkan dalam memilih prinsip-prinsip dan teknik-teknik yang akan dipakai dalam memotivasi pelajar.Di dalam kelas yang pelajar-pelajarnya terdiri dari kelompok yang memiliki kemampuan yang sama namun berbeza keperibadian dan minat, variasi prinsip-prinsip dan teknik-teknik yang dipakai akan lebih banyak. Di dalam kelas mungkin kita akan menemui beberapa orang pelajar yang mampu memotivasi dirinya sendiri. Pelajar-pelajar seperti ini tidak banyak memerlukan pertolongan dari guru untuk merangsang minat mereka dalam belajar, kerana mereka mampu mendorong diri mereka sendiri.
Kebanyakan pelajar akan mempunyai motivasi belajar jika kita menggunakan berbagai teknik untuk memotivasi mereka, namun ada pula sejumlah pelajar yang baru akan termotivasi jika kita melakukan usaha-usaha khusus bagi mereka. Oleh kerana itu kita sebagai guru hendaklah fleksibel dalam memakai berbagai pendekatan dalam merangsang minat pelajar dalam belajar, serta mampu menerapkan berbagai prinsip dan teknik yang berbeza sesuai dengan keperluan masing-masing pelajar .
2. KONSEP-KONSEP DASAR TENTANG MOTIVASI
Motivasi merupakan jantung-nya proses belajar. Oleh kerana motivasi begitu penting dalam proses pembelajaran, maka tugas guru yang pertama dan terpenting adalah membangkitkan atau membangun motivasi pelajar terhadap apa yang akan dipelajari oleh pelajar. Motivasi bukan sahaja menggerakkan tingkah laku, tetapi juga mengarahkan dan memperkuat tingkah laku. Pelajar yang bermotivasi dalam pembelajaran akan menunjukkan minat, semangat dan ketekunan yang tinggi dalam pelajaran, tanpa banyak bergantung kepada guru.Menurut para pakar motivasi terdapat dua jenis motivasi yang umum, iaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan oleh faktor pendorong yang murni berasal dari dalam diri individu, dan tujuan tindakan itu terlibat di dalam tindakan itu sendiri, bukan di luar tindakan tersebut. Berbeza dengan motivasi ekstrinsik, iaitu keinginan bertingkah laku sebagai akibat dari adanya rangsangan dari luar atau kerana adanya kekuasaan dari luar. Tujuan bertingkah laku pun tidak terlibat dalam tingkah laku itu sendiri, tetapi berada di luar tindakan tersebut.
Di dalam proses belajar, motivasi intrinsik lebih berkesan mendorong pelajar dalam belajar. Namun bukan bermakna bahawa motivasi ekstrinsik perlu dihindari sama sekali. Motivasi ekstrinsik dapat memancing timbulnya motivasi intrinsik. Banyak pelajar yang termotivasi secara ekstrinsik dapat berjaya dengan baik dalam belajar, seperti halnya dengan pelajar-pelajar yang termotivasi secara intrinsik, asalkan guru dapat membantu mereka dengan cara yang tepat sesuai dengan keperluan mereka. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam membangkitkan motivasi pelajar dalam belajar melalui pengembangan motivasi ekstrinsik, seperti memberikan penghargaan atau celaan, membangun persaingan, memberikan hadiah atau hukuman, dan memberi tahu kemajuan yang dicapai oleh pelajar. Masing-masing cara mempunyai kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya sendiri. Guru harus menentukan cara yang paling tepat sehingga berbagai kelemahan dapat dikurangi atau dihindarkan sama sekali, dan sebaliknya kekuatan-kekuatan yang ada dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya.
3. TEORI-TEORI TENTANG MOTIVASI
Menurut teori Keperluan, manusia termotivasi untuk bertingkah laku adalah kerana ingin memenuhi bermacam-macam keperluan seperti berikut:
1. Keperluan fizikal, iaitu meliputi keperluan makan, minum, seks atau kenikmatan dan keselamatan fizikal lainnya. Oleh kerana itu sekolah hendaknya menyediakan persekitaran yang menimbulkan kenikmatan, keamanan secara fizikal bagi para pelajar, sehingga mereka merasa senang dan nyaman dalam belajar.
2. Keperluan emosional, iaitu meliputi keperluan untuk mencapai prestasi dan harga diri. Ini dijadikan dorongan yang memotivasi dalam belajar dengan cara melibatkan pelajar dalam menentukan tujuan dan aktiviti untuk mencapai tujuan belajar. Aktiviti belajar hendaklah benar-benar bermanfaat bagi pelajar. Tugas-tugas belajar hendaklah cukup mencabar pelajar untuk berusaha secara maksimum, tidak terlalu mudah dan tidak pula terlalu sukar. Urutan-urutan aktiviti belajar hendaklah diatur sedemikian rupa sehingga pelajar benar-benar dapat berhasil dalam belajar, sekalipun dia adalah pelajar yang lembab. Dalam hal ini guru memperlakukan pelajar dengan penuh manusiawi dan menhormati serta menghargai mereka.
3. Keperluan kognitif, iaitu meliputi keperluan untuk berhasil menciptakan atau memecahkan suatu suasana konflik atau hal-hal yang saling bertentangan dan keperluan untuk mendapatkan rangsangan. Untuk itu guru perlu memberi tahu pelajar tentang tujuan pelajaran sehingga mereka mengetahui keberhasilan yang bagaimana yang diharapkan untuk mereka capai. Berbagai macam cara penyajian dapat dilaksanakan, seperti melalui teka-teki, pertanyaan yang mengundang perdebatan atau berbagai pendapat untuk menjawabnya, memunculkan pandangan-pandangan yang berlawanan atau berbeza atau aneh sehingga pelajar-pelajar terangsang untuk berfikir dan membahasnya. Menyediakan rangsangan dengan memberikan maklumat baru dan berkualiti melalui ceramah, demonstrasi dan perbincangan.Abraham Maslow, seorang pakar motivasi terkenal dan pencipta teori keperluan mengemukakan suatu hubungan hirarki di antara pelbagai keperluan. Menurutnya jika keperluan pertama terpuaskan atau terpenuhi, maka keperluan kedua dirasakan oleh individu sangat penting untuk dipuaskan. Demikian seterusnya sampai keperluan yang paling tinggi, iaitu keperluan aktualisasi diri.Para pakar Humanistik menitik-beratkan pentingnya motivasi dari dalam diri sendiri (self-motivation).
Mereka menganjurkan agar guru-guru mendorong berkembangnya rasa ingin tahu dan minat semulajadi pelajar dalam belajar. Para pakar Behavioristik pula menekankan pentingnya persekitaran dalam menciptakan kondisi yang memotivasi pelajar. Mereka menganjurkan agar guru mengaitkan belajar dengan rangsangan yang menimbulkan perasaan senang dan membentuk tingkah laku pelajar melalui pemberian hadiah atau berbagai penguatan lainnya.
4. MOTIVASI DI DALAM KELAS
Dengan memahami teori-teori yang termasyhur tentang motivasi, maka guru dapat mengembangkan lapan ( jenis motivasi di dalam kelas, iaitu:
(1) motivasi tugas;
(2) motivasi aspirasi;
(3) motivasi persaingan;
(4) motivasi afiliasi;
(5) motivasi kecemasan;
(6) motivasi menghindar;
7) motivasi penguatan; dan
( motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri.
Motivasi tugas adalah motivasi yang ditimbulkan oleh tugas-tugas yang ditetapkan sama ada oleh guru, murid sendiri, mahupun yang dirancangkan oleh guru dan murid secara bersama-sama. Pelajar yang memiliki motivasi tugas memperlihatkan keterlibatan dan ketekunan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar. Motivasi tugas hendaklah dibangun di dalam diri pelajar dan ini dapat dilakukan oleh guru kalau dia mengetahui cara-caranya.Motivasi aspirasi yang tinggi tumbuh dengan subur kalau pelajar memiliki perasaan sukses. Perasaan gagal dapat menghancurkan aspirasi pelajar dalam belajar.
Oleh kerana itu guru jangan menjadikan pelajar selalu gagal, walaupun ini bukan bermakna guru harus menjadikan pelajar sukses terus menerus. Suatu konsep yang harus ditanam oleh guru kepada pelajar agar ia memiliki aspirasi yang tinggi adalah bahawa kesuksesan atau kegagalan ditentukan oleh ‘usaha’, bukan oleh kemampuan atau kecerdasan.Persaingan yang sihat dapat menjadi motivasi yang kuat dalam belajar. Namun memupuk rasa persaingan yang berlebih-lebihan, di kalangan pelajar dalam belajar dapat menimbulkan persaingan yang tidak sihat, kerana pelajar bukan menjadi giat belajar, tetapi dengan berbagai cara berusaha mengalahkan pelajar lain untuk mendapatkan status. Membangun persaingan dengan diri sendiri pada setiap pelajar akan menimbulkan motivasi persaingan yang sihat dan berkesan dalam belajar.
Motivasi afiliasi adalah dorongan untuk melaksanakan kegiatan belajar dengan sebaik-baiknya, kerana ingin diterima dan diakui oleh orang lain. Pelajar-pelajar yang masih kecil berusaha meningkatkan usaha dan prestasi dalam belajar agar dia dapat diterima dan diakui oleh orang dewasa, iaitu guru dan ibu bapanya. Namun para remaja lebih terdorong belajar untuk mendapatkan penerimaan dan perakuan dari rakan sebaya. Oleh kerana itu, guru-guru yang mengajar pelajar-pelajar yang masih kecil hendaknya memberikan perhatian dan penghargaan yang penuh terhadap peningkatan usaha dan hasil belajar yang ditampilkan oleh pelajar. Bagi pelajar remaja, guru hendaknya dapat memanfaatkan kelompok untuk meningkatkan usaha dan prestasi belajar ahli kelompok.Kecemasan dapat mendorong usaha dan hasil belajar. Tetapi kecemasan yang berlebihan dapat menurunkan keghairahan dan hasil belajar. Pelajar yang telah memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar jika mengalami kecemasan dapat menurunkan motivasinya itu.
Demikian juga dengan pelajar-pelajar yang memiliki kecerdasan (IQ) rendah kalau mengalami kecemasan menyebabkan usaha dan hasil belajar mereka menjadi bertambah merosot. Tetapi kecemasan sangat berkesan untuk meningkatkan usaha dan hasil belajar pelajar yang bermotivasi rendah dan yang memiliki kecerdasan tinggi.Motivasi penguatan dapat ditimbulkan melalui diagram kemajuan belajar murid, memberikan komentar pada setiap kertas tugas, ujian dan peperiksaan pelajar dan memberikan penghargaan. Guru hendaklah menjauhi pemahaman bahawa pemberian angka sebagai sumber utama untuk menimbulkan motivasi penguatan, kerana menitik-beratkan pemberian angka dalam memotivasi pelajar dapat menimbulkan persaingan yang tidak sihat dan akan menimbulkan kecemasan di dalam kelas.Motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri sangat berkesan dalam meningkatkan motivasi pelajar dalam belajar. Pelajar-pelajar ini menunjukkan tingkah laku yang mandiri dalam belajar dan mempunyai sistem nilai yang baik yang melatar-belakangi tingkah laku mereka itu. Pembentukan sistem nilai-nilai yang menjadi tanggung jawab guru pada setiap pelajar, sehingga pelajar-pelajar memiliki motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri adalah sangat penting. Bagi pelajar-pelajar yang telah memiliki motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri, guru hanya perlu memberikan pelayanan yang sesuai dengan tuntutan aktiviti belajar mereka.
5. MOTIVASI DAN ASPEK-ASPEK PENGAJARAN
Aspek-aspek yang terlibat dalam pengajaran yang meliputi sikap guru, kaedah pengajaran, bahan pelajaran, media pengajaran dan penilaian hasil pengajaran sangat mempengaruhi minat dan keghairahan pelajar dalam belajar.Sikap atau tingkah laku guru dijadikan model oleh pelajar-pelajarnya. Pelajar-pelajar meniru sikap atau tingkah laku guru, sama ada yang pantas mahupun yang buruk. Gaya guru dalam memimpin kelas juga mempengaruhi suasana kelas dan kegiatan pelajar dalam belajar.
Guru yang memberi semangat kepada pelajar dengan menekankan bahawa semua pelajar dapat berhasil dalam belajar, asal berusaha keras, rajin, tekun dan tidak mengenal putus asa, akan menimbulkan semangat pelajar untuk belajar. Mereka tidak takut untuk salah dalam belajar, kerana mereka yakin jika salah, mereka boleh berusaha lagi untuk memperoleh yang benar. Guru seperti ini mengembangkan standard (tingkat kualiti) kesuksesan yang disebut “Multidimensional Classroom”. Berbeza dengan gaya guru yang mengembangkan standar kesuksesan “Unidimensional Classroom”, yang menekankan bahawa kesuksesan hanya dapat diraih oleh pelajar yang mempunyai potensi inteligensi tinggi atau pelajar yang cerdas. Pelajar-pelajar yang dianggap guru kurang berpotensi inteligensi tinggi atau kurang cerdas, tidak bersemangat untuk belajar dan merasa diri mereka tidak mampu untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar.
Gaya guru dalam memimpin kelas seperti ini buruk pengaruhnya terhadap suasana kelas dan motivasi pelajar.Tingkah laku pelajar dalam belajar dapat pula mempengaruhi keberkesanan pengajaran. Kalau tingkah laku pelajar positif maka guru-guru cenderung menampilkan pengajaran yang berkesan, dan jika tingkah laku pelajar negatif maka guru-guru cenderung untuk menampilkan pengajaran yang kurang berkesan. Ada di antara guru-guru yang memberikan pelayanan yang tidak sama terhadap pelajar-pelajar yang berbeza status sosial-ekonomi, berbeza jenis kelamin, berbeza kebudayaan dan berbeza prestasi belajarnya. Tentu sahaja cara ini tidak sesuai dengan idea pendidikan yang sebenarnya.Kaedah mengajar yang dapat mengghairahkan dan meraih minat pelajar untuk belajar adalah memungkinkan pelajar terlibat secara aktif dalam belajar. Berbagai model mengajar yang dikembangkan oleh Bruce Joyce dan Marsha, memungkinkan keterlibatan pelajar yang maksimum dalam belajar. Model-model kaedah mengajar ini menuntut keaktifan pelajar sesuai dengan taraf perkembangan masing-masing pelajar.
Pada taraf perkembangan pelajar yang tertinggi diharapkan pelajar-pelajar dapat belajar mandiri; melakukan kegiatan belajar tanpa tergantung banyak terhadap guru.Bahan pengajaran sangat penting peranannya dalam meningkatkan motivasi pelajar dalam proses pembelajaran. Guru harus mengenal faktor-faktor yang harus dikembangkan dalam memilih bahan pelajaran. Di samping itu guru juga harus mahir dalam mengelola bahan pengajaran sehingga menarik dan memudahkan pelajar untuk memahami bahan pengajaran tersebut.Media pengajaran dapat berfungsi untuk mendorong murid belajar dengan minat dan keghairahan yang tinggi apabila media pengajaran itu dipilih dengan mempertimbangkan ciri-ciri pelajar, tujuan pengajaran, jenis bahan pengajaran itu sendiri dan bentuk penilaian pengajaran yang akan dilaksanakan. Untuk memilih media pengajaran yang baik maka guru perlu mengetahui langkah-langkah yang harus ditempuhnya.
Aspek pengajaran lainnya yang dapat mempengaruhi motivasi pelajar dalam belajar adalah pelaksanaan penilaian pengajaran. Penilaian pengajaran yang dapat meningkatkan aktiviti murid dalam belajar, adalah penilaian yang dapat memberitahu pelajar tentang kelemahan dan kekuatannya dalam belajar dan penilaian itu dirasakan oleh pelajar sebagai penggambaran yang benar tentang taraf penguasaannya dalam belajar. Penilaian hendaknya diikuti dengan tindak lanjut dari guru, iaitu membantu pelajar untuk meningkatkan taraf penguasaan belajar yang sempurna, sehingga pelajar dapat berprestasi lebih tinggi.
6. MOTIVASI DAN PERSEKITARAN
Persekitaran sekolah mahupun persekitaran rumah penting peranannya dalam meningkatkan motivasi pelajar dalam belajar. Guru mahupun ibu bapa hendaknya dapat menciptakan persekitaran sekolah dan persekitaran rumah yang memungkinkan keghairahan dan minat murid belajar menjadi meningkat. Persekitaran fizikal sekolah, sama ada yang menyangkut pengaturan ruangan kelas mahupun pengaturan jumlah pelajar dalam satu kelas, hendaknya mempertimbangkan persyaratan fizikal mahupun psikologikal yang menunjang keberkesanan pelajar dalam belajar.
Situasi sosial dalam kelas hendaknya dapat menjamin perasaan aman dan tingginya kerjasama dikalangan pelajar dalam mencapai tujuan akademik.Ibu bapa dapat menciptakan situasi fizikal mahupun psikologikal yang menyokong minat dan keghairahan anaknya dalam belajar. Penyediaan kesempatan yang diperlukan anak dalam belajar di rumah mahupun di luar sangat menunjang kesuksesan anak dalam belajar. Membina hubungan akrab dengan anak dan memberikan perhatian yang tinggi penting dan patut dilakukan oleh ibu bapa, kalau mahu anaknya berjaya dalam belajar.
7. TEKNIK-TEKNIK MEMOTIVASI MURID DALAM BELAJAR
Banyak teknik yang dapat dipergunakan guru untuk meningkatkan motivasi murid dalam belajar. Guru hendaknya selalu ingat betapa pentingnya memberikan alasan-alasan kepada pelajar mengapa mereka harus belajar dengan sungguh-sungguh dan berusaha untuk berprestasi sebaik-baiknya. Guru juga perlu menjelaskan kepada pelajar-pelajar apa yang diharapkan dari mereka selama dan sesudah proses belajar berlangsung. Lebih jauh, guru perlu mengusahakan agar pelajar-pelajar mengetahui tujuan jangka pendek dari pelajaran yang sedang diikutinya. Ingatlah bahawa ada cara-cara yang berkesan dan ada pula cara-cara yang tidak berkesan dalam memberikan penghargaan untuk meningkatkan kegiatan belajar, sikap terhadap belajar dan sikap terhadap diri sendiri murid, tetapi jangan lupa bahawa untuk pelajar-pelajar tertentu mungkin dapat merosak motivasi belajar mereka.
Oleh kerana itu, anda sebagai guru harus berhati-hati dalam melaksanakan ujian dan memberikan angka atau markah kepada pelajar.Cobalah guru melakukan sesuatu yang menimbulkan kekaguman kepada pelajar untuk merangsang perasaan ingin tahunya. Memang baik sekali untuk menimbulkan minat belajar, jika sekali-sekala guru memberikan aktiviti dengan memperkenalkan sesuatu yang baru bagi para pelajar. Berilah pelajar-pelajar kesempatan untuk mendapatkan penghargaan. Jadikan jangka masa belajar awal (permulaan) menjadi lebih mudah bagi pelajar dan usahakan agar semua pelajar mendapat kesempatan untuk merasa sukses.
Tingkatkan motivasi pelajar dengan merangsang perasaan ingin tahu dengan cara memperkenalkan contoh-contoh yang khas dalam menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Doronglah pelajar untuk mempergunakan pengetahuan dan kemahiran serta pengalaman yang telah mereka pelajari dari bahan pelajaran sebelumnya untuk mempelajari bahan-bahan yang baru. Cubalah masukan unsur permainan dalam proses belajar untuk menarik minat dan memudahkan pemahaman pelajar terhadap bahan yang dipelajari. Doronglah pelajar anda untuk melaksanakan usaha-usaha penemuan atau berbagai percubaan (penyelidikan) untuk menemukan sesuatu yang belum pernah ada.Guru haruslah berusaha untuk sedapat mungkin mengurangi persaingan di antara pelajar-pelajar dalam meningkatkan motivasi untuk mencapai prestasi akademik. Jauhilah perkara-perkara atau kejadian-kejadian yang dapat menimbulkan keengganan murid untuk belajar, sama ada yang merupakan ketidak-selesaan secara fizikal mahupun yang menyebabkan hilangnya harga diri pelajar. Jangan ada keinginan guru untuk menghukum pelajar dengan maksud agar pelajar akan belajar, tetapi sebaliknya berilah mereka penghargaan. Terakhir yang patut diperhatikan oleh guru dalam meningkatkan motivasi pelajar adalah bahawa guru hendaknya peka terhadap suasana atau iklim sosial sekolah dan benar-benar memahami bagaimana pengaruh iklim sosial itu terhadap nilai-nilai yang dipegang oleh para pelajar.
Guru hendaklah berhati-hati terhadap apa yang sedang berlangsung di dalam kelasnya dan mencuba merasakan apabila mengajar sesuatu topik dengan cara tertentu. Buatlah kumpulan pengalaman mengajar anda untuk dijadikan cermin dalam mengadakan perbaikan-perbaikan. Janganlah takut melakukan berbagai percubaan untuk menemukan cara yang terbaik dalam mengajar. Oleh kerana itu anda harus yakin akan pentingnya belajar melalui pengalaman. Jika suatu cara yang anda lakukan berjalan lancar, lakukan lagi; tetapi jika cara itu tidak atau sedikit sekali memotivasi murid dalam belajar, tinggalkan cara itu. Mengajar adalah suatu proses yang menuntut perbaikan secara cermat dan terus menerus.

^^SELLA KHAFIDA^^
KTP/4

Jumat, 06 Juni 2008

PENGEMBANGAN KBK MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia yang semakin terpuruk dengan fenomena lulusan yang kurang qualified, pemerintah telah merumuskan kurikulum berbasis kompetensi. Pada tahun 2004 ini, pemerintah akan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi secara serentak di sekolah-sekolah setelah melalui uji coba sejak tahun 2001 di beberapa sekolah tertentu.

KBK memiliki konsep pendekatan pembelajaran yang berbeda dengan kurikulum 1994, yaitu berbasis kompetensi dimana fokus program sekolah adalah pada siswa serta apa yang akan dikerjakan oleh mereka dengan memperhatikan kecakapan hidup (life skill) dan pembelajaran kontekstual. Dalam pengembangannya, seluruh elemen sekolah dan masyarakat perlu terlibat secara langsung, antara lain kepala sekolah, komite sekolah, guru, karyawan, orang tua siswa serta siswa.

Sebuah kurikulum tidak hanya sekedar instruksi pembelajaran yang disusun oleh pemerintah untuk diterapkan di sekolah masing-masing. Sinclair (2003) menegaskan bahwa kurikulum yang baik adalah yang memberi keleluasaan bagi sekolah untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik sesuai tuntutan lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, sekolah memiliki wewenang penuh dalam mengimplementasikan KBK dalam proses belajar mengajar.

Salah satu unsur terpenting dalam penerapan KBK sangat tergantung pada pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang ada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru mengenai strategi ini. Oleh karena itu diperlukan suatu model pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual yang mudah dipahami dan diterapkan di kelas secara sederhana.

Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan yang atau peristiwa yang akan terjadi disekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer imu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok

Dalam kurikulum berbasis kompetensi, guru dapat menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa, lebih mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru, menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat. Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar.

Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan oleh guru melalui pembelajaran kontekstual, antara lain:

1. Pembelajaran berbasis masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.

2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

3. Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.

4. Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

6. Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.

Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.

Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.

Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.

Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.


(DEBY ARCELLINA IRMAWATY/ KURTEKDIK/ 4)

E-learning Berbasis Web sebagai Bahan Belajar Mandiri

Heri Triluqman BS *)ABSTRAK: Dalam era global, mau tidak mau kita harus berhubungan dengan teknologi, khususnya teknologi informasi. Pemanfataan e-learning khususnya internet untuk kegiatan pembelajaran, baik sebagai virtual library atau virtual campus telah dilaksanakan di seluruh penjuru dunia. E-learning merupakan salah satu media yang dapat dimanfaatkan dalam belajar, terutama belajar mandiri. Hal yang terpenting dalam proses belajar mandiri ialah peningkatan kemauan dan keterampilan siswa/peserta didik dalam proses belajar tanpa bantuan orang lain, sehingga pada akhirnya siswa/peserta didik tidak tergantung pada guru/instruktur, pembimbing, teman, atau orang lain dalam belajar. Tugas guru/instruktur dalam proses belajar mandiri ialah menjadi fasilitator, menjadi orang yang siap memberikan bantuan kepada siswa/peserta didik bila diperlukan. Terutama, bantuan dalam menentukan tujuan belajar, memilih bahan dan media belajar, serta dalam memecahkan kesulitan yang tidak dapat dipecahkan siswa sendiri. Tugas sebagai perancang proses belajar mengharuskan guru untuk mengolah materi ke dalam format sesuai dengan pola belajar mandiri.Kata Kunci: Belajar Mandiri, e-learningPembelajaran dewasa ini menghadapi 2 tantangan. Tantangan yang pertama datang dari adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua datang dari adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang luar biasa. Konstruktivisme pada dasarnya telah menjawab tantangan yang pertama dengan meredefinisi belajar sebagai proses konstruktif dimana informasi diubah menjadi pengetahuan melalui proses interpretasi, korespondensi, representasi, dan elaborasi. Sementara itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat yang menawarkan berbagai kemudahan-kemudahan baru dalam pembelajaran memungkinkan terjadinya pergeseran orientasi belajar dari outside-guided menjadi self-guided dan dari knowledge-as-possesion menjadi knowledge-as-construction. Lebih dari itu, teknologi ini ternyata turut pula memainkan peran penting dalam memperbaharui konsepsi pembelajaran yang semula fokus pada pembelajaran sebagai semata-mata suatu penyajian berbagai pengetahuan menjadi pembelajaran sebagai suatu bimbingan agar mampu melakukan eksplorasi sosial budaya yang kaya akan pengetahuan.Pembaruan teori belajar melalui notion konstruktivisme dan pergeseran-pergeseran yang terjadi karena adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi merupakan dua hal yang sangat sejalan dan saling memperkuat. Konstruktivisme dan teknologi komputer, secara terpisah maupun bersama-sama telah menawarkan peluang-peluang baru dalam proses pembelajaran, baik di ruang kelas, belajar jarak jauh maupun belajar mandiri. Salah satu tulisan (Tam. M, Educational Technology, Volume 3 Number 2, 2000) melaporkan bahwa komputer dapat secara efektif digunakan untuk mengembangkan higher-order thinking skills yang terdiri dari kemampuan mendefinisikan masalah, menilai (judging) suatu informasi, memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang relevan.BELAJAR MANDIRIBelajar mandiri tidak berarti belajar sendiri. Hal yang terpenting dalam proses belajar mandiri ialah peningkatan kemauan dan keterampilan siswa/peserta didik dalam proses belajar tanpa bantuan orang lain, sehingga pada akhirnya siswa/peserta didik tidak tergantung pada guru/instruktur, pembimbing, teman, atau orang lain dalam belajar. Dalam belajar mandiri siswa/peserta didik akan berusaha sendiri dahulu untuk memahami isi pelajaran yang dibaca atau dilihatnya melalui media audio visual. Kalau mendapat kesulitan barulah bertanya atau mendiskusikannya dengan teman, guru/instruktur atau orang lain. Siswa/peserta didik yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkannya.Proses belajar mandiri memberi kesempatan peserta didik untuk mencerna materi ajar dengan sedikit bantuan guru. Mereka mengikuti kegiatan belajar dengan materi ajar yang sudah dirancang khusus sehingga masalah atau kesulitan belajar sudah diantisipasi sebelumnya. Model belajar mandiri ini sangat bermanfaat, karena dianggap luwes, tidak mengikat serta melatih kemandirian siswa agar tidak bergantung atas kehadiran atau uraian materi ajar dari guru. Berdasarkan gagasan keluwesan dan kemandirian inilah belajar mandiri telah ber’metamorfosis’ sedemikian rupa, diantaranya menjadi sistem belajar terbuka dan belajar jarak jauh. Perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain dan kenyataan di lapangan.Proses belajar mandiri mengubah peran guru atau instruktur, menjadi fasilitator atau perancang proses belajar. Sebagai fasilitator, seorang guru atau instruktur membantu peserta didik mengatasi kesulitan belajar, atau ia dapat menjadi mitra belajar untuk materi tertentu pada program tutorial. Tugas perancang proses belajar mengharuskan guru untuk mengolah materi ke dalam format sesuai dengan pola belajar mandiri.Sistem belajar mandiri menuntut adanya materi ajar yang dirancang khusus untuk itu. Menurut Prawiradilaga (2004 : 194) Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh materi ajar ini adalah:1). Kejelasan rumusan tujuan belajar (umum dan khusus).2). Materi ajar dikembangkan setahap demi setahap, dikemas mengikuti alur desain pesan, seperti keseimbangan pesan verbal dan visual.3). Materi ajar merupakan sistem pembelajaran lengkap, yaitu ada rumusan tujuan belajar, materi ajar, contoh/bukan contoh, evaluasi penguasaan materi, petunjuk belajar dan rujukan bacaan.4). Materi ajar dapat disampaikan kepada siswa melalui media cetak, atau komputerisasi seperti CBT, CD-ROM, atau program audio/video.5). Materi ajar itu dikirim dengan jasa pos, atau menggunakan teknologi canggih dengan internet (situs tertentu) dan e-mail; atau dengan cara lain yang dianggap mudah dan terjangkau oleh peserta didik.6). Penyampaian materi ajar dapat pula disertai program tutorial, yang diselenggarakan berdasarkan jadwal dan lokasi tertentu atau sesuai dengan kesepakatan bersama.APA ITU E-LEARNING?E-learning terdiri dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘elektronic’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer. Karena itu, maka e-learning sering disebut pula dengan ‘online course’. Dalam berbagai literatur, e-learning didefinisikan sebagai berikut :E-learning is a generic term for all technologically supported learning using an array of teaching and learning tools as phone bridging, audio and videotapes, teleconferencing, satellite transmissions, and the more recognized web-based training or computer aided instruction also commonly referred to as online courses (Soekartawi, 2003)Dengan demikian maka e-learning atau pembelajaran melalui online adalah pembelajaran yang pelaksaanya didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelit atau komputer.Dalam perkembanganya, komputer dipakai sebagai alat bantu pembelajaran, karena itu dikenal dengan istilah computer based learning (CBL) atau computer assisted learning (CAL). Saat pertama kali komputer mulai diperkenalkan khususnya untuk pembelajaran, maka komputer menjadi popular dikalangan anak didik. Hal ini dapat dimengerti karena berbagai variasi teknik mengajar bisa dibuat dengan bantuan kompter tersebut. Maka setelah itu teknologi pembelajaran terus berkembang dan dikelompokan menjadi dua yaitu :1). Technology-based learning2). Technology-based Web-learningTechnology based-learning ini pada prinsipnya terdiri dari dua, yaitu audio information technologies (audio tape, radio, voice mail, telepone ) dan video information technologies (video tape, nideo text, video messaging). Sedangkan technology based web-learning pada dasarnya adalah data information tecbnologies (bulletin board, internet, email, tele-collaboration).Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari, yang sering dijumpai adalah kombinasi dari teknologi yang dituliskan di atas (audio/data, video/data, audio/video). Teknologi ini juga sering dipakai pada pendidikan jarak jauh, dimaksudkan agar komunikasi antara murid dan guru bisa terjadi dengan keunggulan teknologi e-learning ini. Sedangkan interaksi antara guru dan murid bisa dilaksanakan melalui cara langsung (synchronous) atau tidak langsung, misalnya pesan direkam dahulu sebelum digunakan. Cara ini dikenal dengan nama e-synchronous.KARAKTERISTIK E-LEARNINGKarakteristik e-learning antara lain adalah:1). Memanfaatkan jasa teknologi elektronik; dimana guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah dengan tanpa dibatasi oleh hal-hal yang protokelor;2). Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer sehinga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan dimana saja dan yang bersangkutan memerlukanya; dan3). Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.Menurut Miarso (2004), Pemanfaatan E-learning tidak terlepas dari jasa internet. Karena teknik pembelajaran yang tersedia di internet begitu lengkap, maka hal ini akan mempengaruhi terhadap tugas guru dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar-mengajar didominasi oleh peranan guru, karena itu disebut the era of theacher. Kini, proses belajar-mengajar, banyak didominasi oleh peran guru dan buku (the era of teacher and book) dan pada masa mendatang proses belajar mengajar akan didominasi oleh guru, buku, dan teknologi (the era of teacher, book, and technology)REKAYASA WEBRekayasa web adalah proses yang digunakan untuk menciptakan aplikasi web yang berkualitas tinggi. Rekayasa web mengadaptasi rekayasa perangkat lunak dalam hal konsep dasar yang menekankan pada aktifitas teknis dan manajemen. Namun demikian adaptasi tidak secara utuh, tapi dengan perubahan dan penyesuaian. Rekayasa web gabungan antara web publishing (suatu konsep yang berasal dari printed publishing) dan aktifitas rekayasa perangkat lunak, antara marketing dan komputerisasi, antara komunikais internal dan komunikasi eksternal serta antara seni dan teknologi [POW98]. Dikatakan demikian karena desain sebuah aplikasi web menekankan pada desain grafis, desain informasi, teori hypertext, desain sistem dan pemrograman.Proses Rekayasa WebModel yang dianggap cocok dan baik untuk rekayasa web adalah model modified waterfall dan spiral.Tahapan dalam modified waterfall adalah :● Problem definition dan concept exploration● Requirement analysis specification● Design prototyping● Implementation and unit testing● Integration and system testing● Operation and maintenancepada modified waterfall, perbedaan berada pada 2 proses pertama yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga disebut whirlpool. Tujuannya adalah dapat melengkapi requirement dan analisis secara lengkap.Pada spiral terbagi beberapa sektor yaitu :● Determine site objectives and constraints● Identify and resolve risks● Develop the deliverables for the interation and verify that they are correct● Plan the next iterationspiral model sangat masuk akal untuk rekayasa web tapi rumit dan sulit dalam pengaturan. Dibandingkan dengan waterfall, tahapan-tahapan pada spiral tidak jelas dimana mulai dan dimana akhir. Pada prakteknya spiral berguna selama perencanaan karena mengurangi resiko dan mendorong tim developer untuk memikirkan apa yang paling penting.Analisis Rekayasa WebAda 4 tipe analisis dalam rekayasa web:● Content Analysis. Isi yang akan disajikan oleh dalam aplikasis berbasis ditentukan formatnya baik itu berupa text, grafik dan image, video, dan audio.● Interaction Analysis. Cara interaksi antara user dan aplikasi dijelaskan secara detail.● Functional Analysis. Menentukan operasi yang akan diaplikasikan pada aplikasi berbasis web. Semua operasi dan fungsi dideskripsikan secara detil.● Configuration Analysis. Lingkungan dan infrastruktur dimana WebApp akan diberada digambarkan secara detil.Desain WebStruktur Aplikasi Berbasis WebAda beberapa struktur yang bisa dipakai dalam aplikasi berbasis web, meliputi:● Struktur linierUrutan interaksi pada struktur linier disusun secara pasti. Struktur ini biasa digunakan untuk presentasi tutorial dan pemesanan produk.● Struktur gridIsi pada struktur grid dikategorikan pada dua atau lebih dimensi. Misal ecommerce untuk menjual HP, horisontal adalah kategori berdasarkan feature HP sedangkan vertikal adalah merk HP.● Struktur jaringanKomponen pada struktur jaringan terhubung satu sama lain, meskipun fleksibel struktur ini membingungkan pengguna● Struktur hirarkiStruktur ini adalah struktur yang paling umum digunakan. Struktur ini memungkinkan aliran secara horisontal maupun vertikal.Desain NavigasiSetelah arsitektur aplikasi sudah terbentuk dan komponen-komponen seperti halaman, scripts, applet dan fungsi lain sudah ada, developer menentukan navigasi yang memungkinkan user mengakses isi aplikasi dan layanan-layanannya. Jika user tidak bisa berpindah ke halaman lain dalam web dengan mudah dan cepat maka mungkin karena grafik, dan isi tidak relevant, ini adalah masalah navigasi.Dalam desain navigasi beberapa hal perlu dilakukan :Menentukan semantik (arti ) dari navigasi untuk user yang berbeda.Menentukan cara yang tepat: pilihannya adalah text-based links, icons, buttons and switches, and graphical metaphorsDesain InterfaceUser interface adalah kesan pertama. Sekalipun nilai isinya baik, kemampuan prosesnya canggih, layanannya lengkap namun jika user interfacenya buruk maka hal lain tidak berguna, karena akan membuat user berpindah ke web lain.Beberapa petunjuk dalam merancang interface design :Server errors, menyebabkan user pindah ke website.Membaca di layar monitor lebih lambat 25% dari pada di kertas, karena itu teks jangan terlalu banyak.Hindari tanda “under construction”.User tidak suka scroll. Pastikan informasi cukup dalam satu layar.Navigasi menu dan headbar harus konsisten.Keindahan tidak seharusnya lebih penting dari pada fungsinyaOpsi navigasi harus jelas sehingga tahu bagaimana berpindah atau mencari hal lain pada halaman aktif.Pengujian pada Rekayasa WebCheck isi/informasi untuk kesalahan yang mungkin terjadi, misalnya salah ketik.Design model WebApp di- review untuk menemukan navigation errors.Processing components an Web pages diuji.Integration test untuk arsitektur web :● Struktur linier, grid, atau hirarki sederhana dilakukan seperti pada software dengan pemrograman terstruktur (modular).● Struktur hirarki campuran atau network (Web) dilakukan seperti pada Object oriented software.Uji WebApp secara keseluruhan setelah disatukan semua komponennya secara lengkap.WebApp yang diimplementasikan pada konfigurasi yang berbeda diuji kompatibilitasnya. Misalnya jika membuat di IE, coba di Netscape, dan FirefoxApplikasi diuji oleh sekelompok pengguna dengan kemampuan yang berbeda.Bagian yang diuji adalah isi, navigation, kemudahan penggunaan, kehandalan dan unjuk kerja.FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM MEMANFAATKAN E-LEARNING BERBASIS WEB UNTUK PEMBELAJARANAhli-ahli pendidikan dan internet menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum seseorang memilih internet untuk kegiatan pembelajaran (Hartanto dan Purbo, 2002; serta Soekawati, 1999;) antara lain:a. Analisis Kebutuhan (Need Analysis)Dalam tahapan awal, satu hal yang perlu dipertimbangkan adakah apakah memang memerlukan e-learning. Untuk menjawab pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan perkiraan atau dijawab berdasarkan atas sasaran orang lain. Sebab setiap lembaga menentukan teknologi pembelajaran sendiri yang berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu diadakan analisis kebutuhan. Kalau analisis ini dilaksanakan dan jawabanya adalah membutuhkan e-learning maka tahap berikutnya adalah membuat studi kelayakan, yang komponen penilaianya adalah:1). Apakah secara teknis dapat dilaksanakan misalnya apakah jaringan internet bisa dipasang, apakah infrasruktur pendukungnya, seperti telepon, listrik, komputer tersedia, apakah ada tenaga teknis yang bisa mengoperasikanya tersedia.2). Apakah secara ekonomis menguntungkan, misalnya apakah dengan e-learning kegiatan yang dilakukan menguntungkan atau apakah return on investment nya lebih besar dari satu.3). Apakah secara sosial penggunaan e-kearning tersebut diterima oleh masyarakatb. Rancangan InstruksionalDalam menentukan rancangan instruksional ini perlu dipertimbangkan aspek-aspek (Soekartawi, 1999) :1). Course content and learning unit analysis, seperti isi pelajaran, cakupan, topik yang relevan dan satuan kredit semester.2). Learner analysis, seperti latar belakang pendidikan siswa, usia, seks, status pekerjaan, dan sebagainya.3). Learning context analysis, seperti kompetisi pembelajaran apa yang diinginkan hendaknya dibahas secara mendalam di bagian ini.4). Instructional analysis, seperti bahan ajar apa yang dikelompokan menurut kepentingannya, menyusun tugas-tugas dari yang mudah hingga yang sulit, dan seterusnya.5). State instructional objectives, Tujuan instuksional ini dapat disusun berdasarkan hasil dari analisis instruksional.6). Construct criterion test items, penyusunan tes ini dapat didasarkan dari tujuan instruksional yang telah ditetapkan.7). Select instructional strategy, strategi instruksional dapat ditetapan berdasarkan fasilitas yang ada.c. Tahap PengembanganBerbagai upaya dalam pengembangan e-learning bisa dilakukan mengikuti perkembangan fasilitas ICT yang tersedia hal ini kadang-kadang fasilitas ICT tidak dilengkapi dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula halnya dengan prototype bahan ajar dan rancangan intruksional yang akan dipergunakan terus dipertimbangkan dan dievaluasi secara kontinu.d. PelaksanaanPrototype yang lengkap bisa dipindahkan ke komputer (LAN) dengan menggunakan format misalnya format HTML. Uji terhadap prototype hendaknya terus menerus dilakukan. Dalam tahapan ini sering kali ditemukan berbagai hambatan, misalnya bagaimana menggunakan management course tool secara baik, apakah bahan ajarnya benar-benar memenuhi standar bahan ajar mandiri.e. EvaluasiSebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan dengan mengambil beberapa sampel orang yang dimintai tolong untuk ikut mengevaluasi. Proses dari kelima tahapan diatas diperlukan waktu yang relatif lama, karena prototype perlu dievaluasi secara terus menerus. Masukan dari orang lain atau dari siswa perlu diperhatikan secara serius. Proses dari tahapan satu sampai lima dapat dilakukan berulang kali, karena prosesnya terjadi terus-menerus.Akhirnya harus pula diperhatikan masalah-masalah yang sering dihadapi sebagai berikut:1). Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti ketersediaan jaringan internet, listrik, telepon, dan infrastruktur yang lain.2). Masalah ketersediaan software (peranti lunak). Bagaimana mengusahakan peranti lunak yang tidak mahal.3). Masalah dampaknya terhadap krikulum yang ada.4). Masalah skill dan knowledge.5). Attitude terhadap ICT.Oleh karena itu, perlu diciptakan bagaimana semuanya attitude yang positif terhadap ICT, bagaimana semuanya bisa mengerti potensi ICT dan dampaknya de anak didik dan masyarakat.SIMPULANE-learning merupakan aplikasi internet yang dapat menghubungkan antara pendidik dan peserta didik dalam sebuah ruang belajar online. E-learning tercipta untuk mengatasi keterbatasan antara pendidik dan peserta didik, terutama dalam hal waktu dan ruang. Dengan e-learning maka pendidik dan peserta didik tidak harus berada dalam satu dimensi ruang dan waktu. Proses pendidikan dapat berjalan kapan saja dengan mengabaikan kedua hal tersebut.E-learning akan dimanfaatka atau tidak sangat tergantung bagaimana pengguna memandang atau menilai e-learning tersebut. Namun umumnya digunakannya teknologi tersebut tergatung dari:1). Apakah teknologi itu memang sudah merupakan kebutuhan;2). Apakah fasilitas pendukungnya sudah memadai;3). Apakah didukung oleh dana yang memadai; dan4). Apakah ada dukungan dari pembuat kebijakan.DAFTAR PUSTAKAHartanto, A.A dan Ono W. Purbo. 2002. Teknologi E-learning Berbasis PHP dan MySQL. Elex Media Komputindo: Jakarta.Miarso, Yusuf Hadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana: Jakarta.Prakoso, Kukuh Setyo. 2005. Membangun E-learning dengan Moodle. Penerbit Andi: Yogyakarta.Prawiradilaga, Dewi S dan Eveline Siregar. 2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Prenata Media: Jakarta..Soekartawi. 1999. Rancangan Instructional. Rajawali Press: Jakarta.Soekartawi. 2003. E-learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Makalah disampaikan pada seminar nasional di Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari 2003.Tam, M. Constructivism, Instructional Design, and Technology: Implication for Transforming Distance Learning. Educational Technology, Volume 3 Number 2. 2000.

(DEBY ARCELLINA IRMAWATY/KURTEKDIK/4)

Rabu, 04 Juni 2008

MANFAAT INTERNET SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS


Yunnia Sandra . K
KURTEKDIK SMT 4

Realitas empirik selama ini di tingkat persekolahan memperlihatkan, dalam proses pembelajaran IPS, guru IPS kurang optimal baik di dalam memanfaatkan maupun memberdayakan sumber pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran IPS cenderung masih berpusat pada guru (teacher centered), textbook centered, dan monomedia.
Adalah tidak dapat dipersalahkan apabila banyak siswa mengganggap proses pembelajaran IPS sebagai sesuatu yang membosankan, monoton, kurang menyenangkan, terlalu banyak hafalan, kurang variatif, dan pelbagai keluhan lainnya.
Padahal pendidikan IPS merupakan synthetic science, karena konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian ditentukan atau diobservasi setelah fakta terjadi. Informasi faktual tentang kehidupan sosial atau masalah-masalah kontemporer yang terjadi di masyarakat dapat ditemukan dalam liputan (exposure) media massa, karena media massa diyakini dapat menggambarkan realitas sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun untuk itu, informasi atau pesan (message) yang ditampilkannya¡Xsebagaimana dapat dibaca di surat kabar atau majalah, didengarkan di radio, dilihat di televisi atau internet¡Xtelah melalui suatu saringan (filter) dan seleksi dari pengelola media itu untuk berbagai kepentingannya, misalnya : untuk kepentingan bisnis atau ekonomi, kekuasaan atau politik, pembentukan opini publik, hiburan (entertainment) hingga pendidikan.

Adalah tidak berlebihan kiranya apabila disebutkan bahwa media massa sangat berpengaruh di dalam pendidikan IPS. Hal ini didasarkan pada berbagai temuan penelitian yang menyiratkan, antara lain, bahwa :
1. Media massa, khususnya televisi, telah begitu memasyarakat;
2. Media massa berpengaruh terhadap proses sosialisasi;
3. Orang-orang lebih mengandalkan informasi yang berasal dari media massa daripada dari orang lain;
4. Para guru IPS perlu memberdayakan media massa sebagai sumber pembelajarannya; dan
5. Para orang tua dan pendidik, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, dapat meminimalisasikan pengaruh negatif media massa dan mengoptimalkan dampak positifnya. (Adiwikarta, 1988; Nielsen Media, 1989; Dominguez and Rincon, 1992; Prisloo and Criticos, 1994)

Lain daripada itu, massa dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran IPS melalui tiga cara :

1. Media massa dapat memperbaiki bagian content dari kurikulum IPS;
2. Media massa dapat dijadikan alat pembelajaran yang penting bagi IPS; dan
3. Media massa dapat digunakan untuk menolong siswa mempelajari metodologi ilmu-ilmu sosial, khususnya di dalam menentukan dan menginterpretasi fakta-fakta sosial (Clark, 1965 : 46-54).

Tulisan ini mencoba memberikan salah satu solusi alternatif untuk mengatasi problematika sebagaimana dipaparkan di awal tulisan, yakni dengan memanfaatkan salah satu media massa kontemporer¡Xinternet sebagai sumber pembelajaran IPS.

Internet, singkatan dari ¡§internatonal network¡¨, adalah jaringan informasi global, yakni ¡§the largest global network of computers, that enables people throughout the world to connect with each other¡¨. Internet dicetuskan pertama kali ide pembuatannya oleh J.C.R. Licklider dari MIT (Massachusetts Institute Technology) pada bulan Agustus 1962. Di Indonesia, internet mulai meluas sekitar tahun 1995, sejak berdirinya indointernet (Purbo, 2000).

Untuk dapat menggunakan internet diperlukan sebuah komputer (memory minimal 4 mega), harddisk yang cukup, modem (berkecepatan minimal 14.400), sambungan telepon (multifungsi : telepon, faksimile, dan internet), ada program Windows, dan sedikit banyak tahu cara mengoperasikannya. Selanjutnya hubungi provider terdekat. Andaikan semua prasyarat tadi tidak dimiliki, cukup mendatangi warnet (warung internet) terdekat yang banyak terdapat di kota-kota besar¡Xmaka kita dapat mengakses situs-situs apa saja sesuai dengan kebutuhan kita.

Internet disebut juga media massa kontemporer, karena memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah media massa, seperti antara lain : ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim serta melewati media cetak atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat oleh khalayaknya.

Pemanfaatan internet sebagai sumber pembelajaran IPS mengkondisikan siswa untuk belajar secara mandiri. ¡§Through independent study, students become doers, as well as thinkers¡¨ (Cobine, 1997). Para siswa dapat mengakses secara online dari berbagai perpustakaan, museum, database, dan mendapatkan sumber primer tentang berbagai peristiwa sejarah, biografi, rekaman, laporan, data statistik, atau kutipan yang berkaitan dengan IPS (Gordin et. al., 1995). Informasi yang diberikan server-computers itu dapat berasal dari ¡§commercial businesses (.com), goverment services (.gov), nonprofit organizations (.org), educational institutions (.edu), atau artistic and cultural groups (.arts)¡¨

Siswa dapat berperan sebagai seorang peneliti, menjadi seorang analis, tidak hanya konsumen informasi saja. Mereka menganalisis informasi yang relevan dengan pembelajaran IPS dan melakukan pencarian yang sesuai dengan kehidupan nyatanya (real life).

Siswa dan guru tidak perlu hadir secara fisik di kelas (classroom meeting), karena siswa dapat mempelajari bahan ajar dan mengerjakan tugas-tugas pembelajaran serta ujian dengan cara mengakses jaringan komputer yang telah ditetapkan secara online.

Siswa juga dapat belajar bekerjasama (collaborative) satu sama lain. Mereka dapat saling berkirim e-mail (electronic mail) untuk mendiskusikan bahan ajar IPS. Kemudian, selain mengerjakan tugas-tugas pembelajaran dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru IPS, siswa dapat berkomunikasi dengan teman sekelasnya (classmates).

Pemanfaatan internet sebagai sistem e-learning memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut :

1. Dimungkinkan terjadinya distribusi pendidikan ke semua penjuru tanah air dan kapasitas daya tampung yang tidak terbatas karena tidak memerlukan ruang kelas;
2. Proses pembelajaran tidak terbatas oleh waktu seperti halnya tatap muka biasa;
3. Pembelajaran dapat memilih topik atau bahan ajar yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing;
4. Lama waktu belajar juga tergantung pada kemampuan masing-masing pembelajar/siswa;
5. Adanya keakuratan dan kekinian materi pembelajaran;
6. Pembelajaran dapat dilakukan secara interaktif, sehingga menarik pembelajar/siswa; dan 7. Memungkinkan pihak berkepentingan (orang tua siswa maupun guru) dapat turut serta menyukseskan proses pembelajaran, dengan cara mengecek tugas-tugas yang dikerjakan siswa secara on-line.

Selain beberapa kelebihan di atas, ada kelemahan yang mungkin timbul dalam sistem e-learning ini, yaitu tingginya kemungkinan gangguan belajar; sebab sistem tersebut mengkondisikan siswa untuk belajar mandiri, sehingga faktor motivasi belajar menjadi lebih signifikan terhadap keberhasilan belajar siswa. Untuk itu diperlukan adanya semacam penasehat (counsellor) yang memantau dan memotivasi belajar siswa agar prestasi belajarnya tidak menurun, dengan cara mengerjakan tugas-tugas belajar sebaik-baiknya dan secara tepat waktu. Di samping itu juga agar siswa tidak mengakses hal-hal yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelajaran atau hal-hal yang bersifat negatif (misalnya membuka situs-situs porno, atau membobol rekening bank dan rahasia perusahaan).

Meskipun begitu, pemanfaatan internet (sistem e-learning) sebagai sumber pembelajaran IPS merupakan sebuah keniscayaan, karena beberapa alasan berikut :
1. Mengingat penduduk Indonesia yang sangat besar dan tersebar di berbagai wilayah, serta terbatasnya daya tampung sekolah dan lembaga pendidikan lainnya, sehingga tidak mungkin dapat menampung mereka yang ingin belajar, maka prospek pemanfaatan internet sebagai suatu pendidikan alternatif cukup cerah;
2. Mendukung pencapaian pembelajaran IPS yang multicultural;
3. Mendorong kemampuan bagaimana belajar untuk belajar (learning to learn);
4. Membawa dampak ikutan yang positif, umpamanya meningkatnya kemampuan berbahasa Inggris;

Minggu, 01 Juni 2008


MENUMBUHKAN BUDAYA GEMAR BELAJAR MANDIRI





“Alam takambang jadi guru” adalah sebuah falsafah hidup orang Minangkabau dan judul buku Almarhum A.A Navis sampai saat ini tetap tidak lapuk karena hujan dan lekang karena panas. Filsafat ini tetap bisa jadi pijakan hidup kita sebagai orang tua dalam kehidupan dalam masyarakat. Sekaligus filsafat ini mengajak kita untuk peka dan bercermin atas peristiwa-peristiwa yang ada di seputar hidup kita.

Sudah menjadi kecendrungan dari keluarga sekarang sekarang untuk memiliki jumlah anak yang lebih kecil daripada keluarga yang lebih senior usianya.Kita perlu untuk berterima kasih atas program KB yang sudah lama diluncurkan oleh pemerintah. Kalau begitu apakah anak-anak dari keluarga kecil hidup lebih beruntung dibandingkan dengan anak-anak dahulu dari keluarga besar (?). Dari segi pertumbuhan biologi bisa dijawab “ya” karena keluarga kecil bisa menyediakan kebutuhan bahan sandang dan pangan yang lebih baik. Tetapi dari segi pertumbuhan mental, emosional dan sosial ,pada sebagian keluarga kecil sekarang, perlu telaah lebih lanjut.

Dari pengalaman kita dapat melihat bahwa cukup banyak generasi muda sekarang yang hidup tanpa orientasi yang jelas, merasa masa depan mereka tidak pasti dan menjadi mudah frustasi. Kita juga dapat menemui banyak pemuda dan pemudi sekarang hidup kurang beruntung dibandingkan dengan orangtua mereka. Padahal tingkat pendidikan mereka rata-rata cenderung lebih tinggi. Tetapi mengapa mereka tampak tidak berdaya, cendrung santai, menganggur karena terbatasnya lowongan kerja yang sudah menjadi alasan klasik.

Kecendrungan kelurga dulu dengan anak banyak membuat mereka harus banting tulang untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang jumlahnya lebih besar. Malah sebagai implikasi, kadang-kadang, anak-anak pun wajib bekerja untuk meringankan beban keluarga. Keluarga senior dengan jumlah anak yang agak banyak hampir-hampir tidak punya waktu untuk “mencikaraui”, ikut campur dalam urusan pribadi anak-anak mereka.

Kecendrungan anak-anak dari keluarga besar adalah mereka mengalami dan memiliki pertumbuhan sosial dan emosional yang lebih baik daripada sebagian anak-anak keluarga kecil. Mereka sejak usia dini sudah dilepas oleh ayah-ibu yang juga sibuk untuk mencari nafkah untuk ikut mengembara, melakukan eksplorasi atau penjelajahan, bersama kakak dan teman-teman mereka.

Sejak usia dini mereka sudah memiliki segudang pengalaman hidup lewat peristiwa demi peristiwa sosial. Suka duka pengalaman sosial dari dunia bermain yang mereka alami . Mereka telah belajar untuk mengenal langsung tentang peran hidup untuk beradaptasi, berakomodasi, menerima dan mengalah dan kadang-kadang harus berkompetisi.

Keluarga Junior dengan jumlah anak yang hanya rata-rata 2 orang sebagian cendrung bersifat terlalu posesif sehingga punya kesan banyak “serbanya” yaitu serba melarang, serba melarang, serba membantu anak dan lain-lain. Sehingga terkesan menjadi serba memanjakan anak dan serba membelenggu kebebasan untuk berkresi , berekspressi dan melakukan kreatifitas. Sikap possesif keluarga junior ini agaknya didorong oleh rasa khawatir yang berlebihan. Khawatir atau takut anak terjatuh dan cedera. Sehingga semua gerak-gerik anak selalu diawasi dan dicemasi. Hal ini membuat anak menjadi serba ditolong dan serba dilindungi. Akibatnya anak kurang aktif dan kreatif dan kurang melaksanakan ekplorasi dalam dunianya ini berarti anak akan miskin dengan pengalaman hidup.

Anak yang kekurangan pengalaman hidup karena telalu banyak dilindungi , ibarat telapak kaki yang terlalu banyak dilindungi oleh sepatu menjadi amat tipis dan susah melangkah diatas kerikil-kerikil. Hidup di dunia memang penuh dengan benturan-benturan kecil sampai dengan benturan-benturan besar sebagai kerikil kehidupan.

Disini tidak ada kecendrungan kita untuk mengatakan bahwa keluarga senior atau keluarga dengan banyak anak jauh lebih baik. Namun disini tersirat sebuah penekanan bahwa orang tua dati keluarga kecil, sebagai keluarga berencana, perlu untuk menjadi arif dan lebih matang dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Mereka perlu untuk selalu menimba ilmu dari buku dan pengalaman hidup, malah kalau perlu menimba pengalaman hidup, mendidik anak, dari keluarga senior tadi.

David J.Scwart (dalam bukunya The magic of thinking big; 1996) mengatakan bahwa lingkungan dan orang-orang di sekeliling kita adalah ibarat laboratorium kemanusiaan . Kita adalah sebagai ahli untuk labor tadi. Kita dapat mengamati dan menganalisa mengapa seseorang bisa punya banyak teman atau sedikit teman, berhasil atau gagal atau biasa-biasa saja. Kita pun kemudian dapat memilih tiga orang yang berhasil dan tiga orang yang gagal dan kemudian menganalisa dan membandingkan kenapa mereka bisa demikian. Hasil pengamatan dan penelitian tadi bisa menjadi pengalaman berharga bagi kita.

Sebagai orangtua, kita perlu bersikap arif dan bijaksana dalam mendidik dan memebesarkan anak. Kita harus punya konsep tentang bagaimana menjadi orangtua yang ideal bagi mereka termasuk dalam hal megurus dan mengarahkan pendidikan mereka.

Bagaimana orang tua menyikapi anak yang lulus dan mencari sekolah untuk pendidikan selanjutnya. Sebagai contoh, cukup banyak anak-anak lulusan dari SLTA yang tidak tahu hendak kemana pergi setelah itu. Kemana atau apa yang akan dilakukan setelah lulus dari SMA merupakan salah satu titik penting dalam kehidupan seseorang. Pada saat itulah tahap awal kedewasaan seseorang dimulai. Keputusan tentang langkah apa yang akan diambil memeberikan pengaruh besar terhadap kehidupan selanjutnya.

Penting untuk diingat bahwa setiap anak perlu memiliki suatu cita-cita atau tujuan spesifik yang menjadi arah dari apa yang ingin untuk dicapaianya. Namun dalam kenyataan adalah cukup banyak anak-anak ,lulusan SMA, yang kebingungan karena tidak punya cita-cita dan berfikir “harus mengapa setelah ini”.

Kebingungan bersumber dari kurangnya pengenalan minat dan kemampuan diri. Tentu saja ini akibat dari miskin atau kurangnya pengetahuan dan wawasan , kurangnya persiapan intelektual dan kurang mengenal pribadi sendiri. Kekurangan-kekurangan ini ,seperti yang telah dijelaskan, disebabkan oleh minimnya pengalaman ekplorasi dan jati diri. Penyebab lain adalah karena tidak terbiasa dengan budaya belajar dan hidup yang mandiri.

Tidak punya cita-cita dalam hidup dan kurang mengenal potensi diri adalah efek negatif dari kurang ekplorasi dan kurang punya jati diri. Untuk mengantisipasi yang demikian maka orangtua dan anak perlu untuk mengembankan dunia jelajahnya atau ekplorasi sejak dini. Setiap anak seharusnya punya banyak pengalaman, sesuai dengan konsep kepintaran berganda,punya pengalaman berteman dan berkomunikasi dengan banyak orang, banyak mengenal tempat lain, mengenal seni dan olah raga, memahami dan mengamalkan agama, berpengalaman dalam menguasai emosi sendiri dan lain-lain.

Anak-anak yang rajin diajak oleh orangtua ke berbagai tempat profesi seperti bank, universitas, pabrik, bandar udara, pusat pelatihan komputer dan lain-lain akan memiliki segudang cita-cita dibandingkan dengan anak anak yang banyak mengurung diri di seputar rumah saja.

Untuk membebaskan anak dari kebingungan dan tanpa cita-cita dalam hidup maka orangtua bertanggungjawab untuk menanamkam ,dan sekaligus memberi contoh tentang, budaya gemar belajar dan hidup mandiri sedini mungkin. Orangtua perlu untuk menyisihkan sedikit dana dan melowongkan waktu untuk keperluan belajar anak di rumah dan memberi contoh langsung tentang betapa pentingnya memebaca, belajar yang banyak dan pintar dalam membagi waktu dan pintar berkomunikasi dengan banyak orang. Selain itu orangtua perlu mendukung anak untuk mengembangkan hobi dan bersikap kreatif dalam hidup. Orangtua perlu memberi anak kebebasan untuk mencoba dan mengurangi sikap yang terlalu possesif dan over-protektif (terlalu melindungi) yang tercermin dalam sikap yang banyak serba membantu dan serba melarang anak. Di waktu lowong anak (dan orang tua) perlu untuk rekreasi yang lebih bersifat edukatif.

Anak-anak dengan pribadi yang berimbang antara intelektual, emosional dan spiritual serta kreatif dan mandiri adalah anak yang sangat kita harapkan. Untuk mewujudkan ini maka kita perlu untuk menanamkan budaya gemar belajar dan hidup mandiri dalam rumah tangga sejak dini.




HASTIN NOVIYANTI
1102406005
KTP/4